Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nicholas Martua Siagian
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia

Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.

Teknokratisme, Melengkapi Gaya Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Kompas.com - 07/05/2025, 14:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KALAU ditanya kepada publik, untuk saat ini siapa gubernur yang paling populer? Tentu, jawabannya adalah Gubernur Jawa Barat saat ini, Dedi Mulyadi.

Jumlah pengikutnya di media sosial mencapai 3,2 juta orang di Instagram dan 5,9 juta orang di Tikok. Setiap harinya, konten-konten yang diproduksi mencapai ratusan ribu hingga jutaan viewers.

Panggung media sosial yang saat ini melekat dalam kehidupan masyarakat, akhirnya membuat Dedi Mulyadi semakin terkenal tidak hanya hanya di Jawa Barat, tapi juga sorotan nasional.

Setiap hari, konten-konten yang diunggah menyedot ratusan ribu hingga jutaan penonton, memperlihatkan bahwa pengaruhnya telah jauh melampaui batas administratif Jawa Barat.

Secara kasat mata, popularitas digital Dedi Mulyadi bahkan mengungguli presiden atau kepala daerah lainnya dalam lanskap komunikasi publik saat ini.

Dominasi di media sosial ini tentu bukan sulap-sulapan. Dedi Mulyadi bukan wajah baru dalam politik. Ia pernah menjabat sebagai Bupati Purwakarta, lalu menjadi Anggota DPR RI, dan kini menjadi Gubernur Jawa Barat.

Ada kesinambungan karier dan kontinuitas personal branding yang konsisten dibangun sejak lama.

Pembedanya, ia mengerti perubahan zaman, terutama bagaimana kampanye dan komunikasi politik kini lebih bersifat visual, emosional, dan terkoneksi langsung ke masyarakat.

Baca juga: Demokrasi dari Meja Birokrasi ke Aksi

Dalam konteks ini, kita bisa menyimpulkan bahwa kampanye politik kini telah bergeser, bukan lagi hanya soal baliho dan janji, tetapi perihal kemampuan mencuri perhatian publik secara berkelanjutan.

Prakti itu dilakukan Dedi Mulyadi bukan dengan sensasi, tapi dengan narasi kedekatan, tampil sebagai figur membumi.

Menurut saya, ia adalah gubernur yang tak segan menyapa rakyat kecil di pasar, di jalanan, turun langsung ke lapangan, dan menjadikan kesahajaan sebagai gaya kepemimpinan.

Sebelumnya, Kolumnis Firdaus Arifin menjelaskan dalam artikel opininya “Gubernur Tanpa Ruang Dialog,” bahwa demokrasi kadang bukan tentang siapa yang paling lantang berbicara, tapi tentang siapa yang sungguh mau mendengar. Dan di Jawa Barat hari ini, suara-suara itu tak lagi punya ruang. (Kompas.com, 4/5/2025)

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pendapat Firdaus. Namun, ada sebagian opini beliau yang memang benar.

Dedi Mulyadi, menurut saya, adalah sosok yang membuka ruang dialog secara langsung dengan masyarakat. Bahkan dalam format yang paling personal, yaitu tatap muka dan percakapan dua arah.

Hal itu bisa dilihat dari berbagai kontennya yang mendatangi warga, menampung keluhan mereka, dan memberi solusi ‘seketika’.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau