Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herman Dirgantara
Peneliti Hukum dan Direktur PT. Gajah Mada Analitika

Analis Hukum dan Politik dari Gajah Mada Analitika

Skandal Pilkada Barito Utara: Politik Uang yang Makin Banal

Kompas.com - 15/05/2025, 05:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETIKA Pilkada diselenggarakan, konstitusi menyebutnya sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.

Namun di banyak daerah, yang justru tampak menang bukanlah rakyat atau kualitas kepemimpinan, melainkan praktik politik uang yang makin banal dan diterima sebagai kelaziman. Kasus Pilkada Barito Utara adalah contoh gamblang.

Alih-alih menjadi kompetisi gagasan, kontestasi politik di sana justru berubah menjadi pentas transaksional.

Dalam situasi semacam ini, pertanyaan kritis perlu diajukan: siapa yang sesungguhnya menang dalam Pilkada? Jawabannya bisa jadi politik uang itu sendiri.

Korupsi Politik dan Demokrasi Transaksional

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara sengketa hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara 2024 menggoreskan luka serius bagi demokrasi lokal kita.

Baca juga: MK Perintahkan Pilkada Ulang di Barito Utara Usai Semua Paslon Didiskualifikasi

Lewat Putusan Nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025, MK menjatuhkan sanksi tegas dengan mendiskualifikasi, bukan hanya salah satu, tapi kedua pasangan calon sebab terbukti melakukan praktik politik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU).

Terungkap, uang yang diberikan ke pemilih berkisar antara Rp 6,5 juta hingga Rp 64 juta per keluarga. Bahkan disertai iming-iming berangkat umrah. Ujungnya, MK memerintahkan pemilihan ulang total dengan menghadirkan pasangan calon baru dalam waktu 90 hari.

Dalam kerangka teoritik yang dikemukakan oleh Susan Rose-Ackerman, politik uang merupakan bentuk dari korupsi politik, yakni kondisi ketika proses demokrasi disusupi oleh praktik pertukaran ilegal antara pemilih dan kandidat demi keuntungan elektoral (Ackerman, 1999).

Padahal, politik uang bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan bentuk korupsi sistemik yang menggerogoti legitimasi demokrasi itu sendiri.

Dalam ulasan lain, Rose-Ackerman (2005) juga menukilkan bahwa dalam sistem demokrasi yang tidak transparan dan memiliki pengawasan lemah, korupsi politik tumbuh subur karena para aktor politik melihat manfaat elektoral jangka pendek, jauh lebih penting daripada integritas sistem politik.

Dalam konteks Pilkada Barito Utara, realitas ini tercermin dari praktik pemberian uang atau barang demi mendulang suara, yang tak jarang diketahui oleh aparat, tapi tidak berujung pada penegakan hukum yang tegas.

Negara hukum yang membisu?

Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Namun, ketika politik uang menjadi alat utama meraih kekuasaan, maka hukum justru tampak tidak berdaya.

Penegakan hukum atas politik uang kerap bersifat seremonial, tidak konsisten, dan hanya menyentuh kasus-kasus yang telah menjadi sorotan publik besar.

Baca juga: Sejarah Direvisi

Hal ini menunjukkan lemahnya paradigma hukum formalistik yang hanya berorientasi pada aturan, bukan pada nilai dan keadilan substantif.

Sampai di titik ini, kiranya teori hukum responsif dari Nonet dan Selznick (2001) relevan. Mereka menyatakan bahwa hukum tidak boleh netral terhadap nilai.

Halaman:
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau