GAZA, KOMPAS.com – Dua mantan perdana menteri Israel, Yair Lapid dan Ehud Olmert, melontarkan kritik keras terhadap rencana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu membangun “kota kemanusiaan” di Gaza selatan.
Mereka menilai langkah itu berpotensi menahan warga Palestina dalam kondisi mirip “kamp konsentrasi”.
Kecaman ini muncul di tengah serangan tanpa henti pasukan Israel di Gaza yang pada Minggu (13/7/2025) dilaporkan telah menewaskan sedikitnya 95 warga Palestina hanya dalam satu hari.
Baca juga: 43 Orang Tewas dalam Serangan Israel, Perundingan Gencatan Senjata Gaza Buntu Lagi
Yair Lapid, pemimpin partai oposisi terbesar Israel, menyebut rencana pembangunan kota kemanusiaan di atas puing-puing Kota Rafah sebagai gagasan buruk dari segala aspek.
“Tidak ada hal baik yang akan keluar dari ini, baik dari segi keamanan, politik, ekonomi, maupun logistik,” ujarnya kepada Radio Angkatan Darat Israel.
Lapid, yang sempat menjabat perdana menteri selama enam bulan pada 2022, bahkan menyebut konsep tersebut nyaris tak ubahnya kamp konsentrasi.
“Saya tidak suka menyebutnya begitu, tapi kalau mereka dilarang keluar dari sana, maka itu adalah kamp konsentrasi,” tegasnya.
Pemerintah Israel menyebutkan, kota kemanusiaan itu awalnya akan menampung sekitar 600.000 warga Palestina yang kini tinggal di tenda-tenda di kawasan padat al-Mawasi di sepanjang pantai selatan Gaza.
Namun, rencana jangka panjangnya adalah memindahkan seluruh penduduk Gaza, yang berjumlah lebih dari 2 juta orang ke sana.
Diketahui, citra satelit menunjukkan peningkatan pembongkaran bangunan di Rafah dalam beberapa bulan terakhir. Data per 4 April 2025 mencatat sekitar 15.800 bangunan hancur, sementara pada 4 Juli 2025 jumlahnya melonjak menjadi 28.600 bangunan.
Sementara itu, Ehud Olmert, PM Israel periode 2006–2009, juga angkat bicara dan mengecam rencana Netanyahu.
“Ini adalah kamp konsentrasi. Saya minta maaf,” ujarnya kepada The Guardian.
Olmert menilai rencana memindahkan warga Palestina ke kota kemanusiaan baru tidak bisa dilepaskan dari praktik pembersihan etnis.
“Kalau mereka atau warga Palestina akan dideportasi ke sana, maka itu bagian dari pembersihan etnis. Ketika mereka membangun kamp untuk menyingkirkan lebih dari separuh Gaza, itu bukan upaya menyelamatkan warga Palestina, tapi mendorong mereka keluar, membuang mereka. Saya tidak melihat ada pemahaman lain,” kata Olmert, dikutip dari Al Jazeera pada Senin (14/7/2025).
Baca juga: Terjadi Lagi, 17 Tewas dalam Penembakan di Dekat Jalur Bantuan Gaza
Philippe Lazzarini, Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), juga mempertanyakan apakah langkah Israel ini akan memicu “Nakba kedua”, mengacu pada pengusiran ratusan ribu warga Palestina saat Israel berdiri pada 1948.