MOSKWA, KOMPAS.com — Dalam pertemuan di Alaska pekan lalu dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Presiden Rusia Vladimir Putin menjadikan penguasaan penuh atas Donbass sebagai syarat utama untuk mengakhiri perang di Ukraina.
Menurut sumber yang mengetahui jalannya pembicaraan, Putin meminta pasukan Ukraina menarik diri dari Donetsk dan Luhansk—dua wilayah yang membentuk Donbass—dengan imbalan gencatan senjata di garis depan lainnya.
Namun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menolak mentah-mentah permintaan tersebut.
Baca juga: Warga Ukraina Takut, Trump Berencana Berikan Wilayah Donbass ke Rusia untuk Akhiri Perang
“Kami tidak akan meninggalkan Donbass. Kami tidak bisa melakukan itu,” tegas Zelenskyy kepada wartawan.
Survei terbaru dari Kyiv International Institute of Sociology juga menunjukkan sekitar 75 persen rakyat Ukraina menolak menyerahkan wilayah mereka kepada Rusia.
Donbass, singkatan dari Donets Basin, adalah jantung industri Ukraina di bagian timur. Wilayah ini kaya batu bara, logam, dan lahan pertanian subur, serta menjadi pusat tambang dan pabrik baja yang pernah menopang ekonomi Uni Soviet.
Menurut Mark F Cancian, penasihat senior di Center for Strategic and International Studies, faktor ekonomi tetap penting.
“Donbass sangat terindustrialisasi pada pertengahan abad ke-20, meski kemudian menjadi semacam Rust Belt setelah Perang Dingin,” ujarnya.
Ia menambahkan, wilayah itu juga memiliki sumber daya mineral dan lahan pertanian terbaik di dunia.
Selain ekonomi, nilai strategis Donbass juga besar. Wilayah ini memiliki akses ke Laut Hitam melalui pelabuhan Mariupol, sekaligus menjadi medan perang paling lama dalam konflik Rusia-Ukraina.
“Kedua pihak enggan menyerah di sana,” kata Erik Herron, pakar politik dari West Virginia University.
Namun, alasan terkuat mungkin bersifat simbolis. Donbass dihuni banyak penutur bahasa Rusia yang datang melalui migrasi besar-besaran era Soviet.
“Donbass berperan penting dalam mitologi sosialis Soviet, sebagai rumah bagi figur arketipe ‘manusia Soviet’,” jelas Alexander Motyl, ilmuwan politik di Rutgers University-Newark.
Putin kerap mengulang klaim tidak berdasar bahwa penutur bahasa Rusia di Donbass menghadapi diskriminasi bahkan “genosida” dari Kyiv.