Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ija Suntana
Dosen

Pengajar pada Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mudik dan Kemandirian Rakyat

Kompas.com - 29/03/2025, 10:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MUDIK merupakan tradisi yang telah mengakar kuat dalam budaya bangsa Indonesia. Jutaan rakyat menjalaninya, dengan berbagai situasi yang mereka hadapi: kemacetan, kepanasan, kehujanan, dan situasi lainnya.

Mudik bukan sekadar perjalanan emosional untuk melepas rindu pada tanah kelahiran dan bertemu keluarga, tetapi juga miniatur kemandirian rakyat dalam proses redistribusi kesejahteraan.

Para pemudik membawa sebagain hasil kerja keras mereka di kota untuk dibagikan kepada keluarga di kampung.

Para pemudik bukan sekadar berbagi dalam bentuk uang atau barang, tapi juga peluang. Di sisi lain, banyak keluarga di desa memanfaatkan momen mudik untuk mengembangkan usaha kecil musiman seperti kuliner khas daerah yang disajikan bagi para pemudik.

Uang yang dibawa pemudik dari kota besar dapat menggerakkan perekonomian lokal, dari pedagang kecil hingga usaha jasa.

Mereka menciptakan siklus ekonomi yang memperkuat daerah, yang masih belum—mungkin juga tidak pernah—tersentuh oleh arus utama pembangunan nasional.

Baca juga: Memaknai Ramadhan dan Nyepi di Tengah Teriakan Indonesia Gelap

Mudik adalah upaya rakyat secara mandiri untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan yang masih belum tergarap dengan baik oleh negara.

Mudik menjadi mekanisme alami yang mendorong distribusi ekonomi ke daerah, di saat pembangunan masih terpusat di kota-kota besar.

Ketahanan sosial

Kita berapi-api berbicara tentang pemerataan di daerah, tetapi realitasnya kebijakan sering kali gagal menjangkau lapisan masyarakat terbawah. Berbagai program berjalan terseok-seok dengan birokrasi lamban, selain diperparah kendala teknis.

Mudik merupakan bentuk ketahanan sosial. Ketika para pemudik kembali ke kampung halaman, mereka bukan hanya membawa uang dan barang, tetapi juga pengalaman, keterampilan, dan wawasan baru yang dapat menginspirasi perkembangan di desa.

Melalui mudik rakyat mengambil inisiatif sendiri untuk memastikan bahwa kampung mereka kecipratan dari pertumbuhan ekonomi di kota.

Mudik memberitahu kepada kita bahwa rakyat tidak selalu berpangku tangan pada kebijakan pemerintah untuk bertahan hidup.

Baca juga: Menata Rantai Putus Ekonomi Lebaran

Alih-alih hanya melihat mudik sebagai tantangan logistik, perlu kita baca bahwa mudik merupakan strategi rakyat dalam mengatasi ketimpangan pembangunan yang masih menjadi kendala mendasar di negeri ini.

Kita harus belajar dari tradisi mudik untuk merancang kebijakan yang lebih fokus pada pemerataan kesejahteraan.

Selain memberikan manfaat ekonomi, mudik juga momentum silaturahmi rakyat untuk menjaga harmoni sosial. Terjadi penguatan hubungan antarwarga di daerah.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau