KOMPAS.com - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa proyek penulisan ulang sejarah Indonesia bertujuan untuk menyajikan narasi positif dan mempersatukan bangsa.
Dikutip dari Kompas.com, Selasa (3/6/2025), menurut Fadli Zon, pendekatan ini bukan dimaksudkan untuk mencari-cari kesalahan di masa lalu.
"Tone kita adalah tone yang lebih positif. Karena kalau mau mencari-cari kesalahan, mudah. Pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa," ujarnya pada Minggu (1/6/2025).
Dia juga menyoroti pentingnya menyusun sejarah dari sudut pandang Indonesia-sentris, guna mengikis bahkan menghapus sisa-sisa bias kolonial yang masih mewarnai narasi sejarah nasional.
"Kita ingin sejarah ini Indonesia sentris. Mengurangi atau menghapus bias-bias kolonial. Kemudian, terutama untuk mempersatukan bangsa dan kepentingan nasional," lanjut Fadli.
Lantas, bagaimana komentar pakar? Sudah tepatkah menulis sejarah dengan tone positif?
Baca juga: Sejarah Hari Kebangkitan Nasional yang Diperingati Setiap 20 Mei
Guru Besar Ilmu Sejarah dari Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof. Dr. Warto, M.Hum., menilai bahwa istilah tone positif tidak ada dalam konteks penulisan sejarah.
“Menurut saya, istilah tone positif itu sebenarnya tidak ada dalam sejarah,” ujarnya saat dihubungi oleh Kompas.com, Sabtu (7/6/2025).
Prof Warto menjelaskan, sejarah sebagai peristiwa bersifat netral. Penilaian positif atau negatif muncul dari interpretasi dan eksplanasi yang berbeda-beda.
"Dianggap positif atau negatif itu merupakan hasil interpretasi dan eksplanasi sejarah dengan perspektif yang berbeda-beda," tambahnya.
Prof Warto menegaskan bahwa seluruh peristiwa yang ada dalam sejarah, apa pun peristiwanya, dapat diinterpretasikan secara positif atau negatif.
"Hal ini menunjukkan bahwa dalam setiap peristiwa sejarah, ada wisdom yang ditemukan," jelas dia.
Baca juga: Sejarah Hari Lahir Pancasila, Warisan dari Zaman Majapahit
Menurut Prof Warto, perdebatan soal obyektivitas penulisan sejarah telah berlangsung lama. Meski tidak selalu berkaitan dengan metodologi, perdebatan biasanya menyangkut fairness atau kewajaran.
"Perdebatan sejarah (telah ada) sejak dulu dan akan terus terjadi, meski tidak selalu pada ranah metodologi, tapi sering hanya pada soal fairness, kewajaran," jelasnya.
Dia menambahkan, sejarah menjadi wacana yang membentuk cara berpikir dan sikap, terutama bagi peserta didik yang menerima pelajaran sejarah secara resmi di sekolah.
"Sejarah adalah wacana, discourse, yang dapat membentuk cara berfikir dan bersikap. Ketika sejarah diajarkan secara resmi di sekolah-sekolah, hal itu akan berpengaruh pada peserta didik," jelas Prof Warto.
Karena itu, Prof Warto menegaskan pentingnya menulis sejarah secara jujur dan apa adanya agar menjadi bahan pembelajaran bangsa menuju kedewasaan sekaligus menghindari kesalahan yang sama di masa depan.
"Sejarah mestinya ditulis apa adanya agar menjadi bahan pembelajaran bangsa menuju kedewasaannya, serta sekaligus tidak terantuk batu kesalahan yang sama," pungkasnya.
Baca juga: Pemerintah Sedang Tulis Ulang Sejarah Indonesia, Apa Saja Muatannya?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.