SETELAH mudik Lebaran selesai, apa yang kita dapatkan selain kelelahan, pengeluaran berlebih, dan “timbunan digital” yang menjejali galeri gawai kita?
Euforia merayakan Idul Fitri membuat kita terjebak pada belanja berlebihan, bahkan tidak terencana, baik materi maupun waktu.
Diskon besar-besaran, iklan pariwisata yang menggoda, dan tekanan untuk “ingin terpandang” di momen Idul Fitri seringkali membuat kita kalap, yang mendorong pengeluaran finansial tidak masuk akal.
Kita merasa perlu belanja lebih, bukan karena butuh, tapi karena keharusan budaya: agar terlihat seperti orang lain, bahkan lebih.
Selain belanja materil (pakaian, makanan, hiburan dan lainnya), kita juga belanja waktu dan energi yang berlebih.
Kita berpindah dari satu tempat wisata ke tempat lain, dari satu hiburan ke hiburan lain, tanpa makna dan pengalaman yang lebih berarti. Akibatnya, yang tersisa hanyalah kelelahan fisik dan tidak jarang kekecewaan.
Baca juga: Efisiensi Anggaran dan Hotel yang Sepi
Saya bukan mau mengajak meratapi mudik yang telah berlalu, melainkan untuk menyadari bahwa mudik panjang adalah peluang dan pelajaran.
Mudik tahun depan tetap kita jalani, tapi mungkin dengan format lain yang berbeda dengan mudik kali ini.
Menyadari makna mudik menjadi krusial saat ini. Dalam budaya yang semakin digital dan sebaran visual yang serba cepat, mudik kerap menjadi ajang pamer.
Di saat mudik, banyak di antara kita, saya di antaranya, mengejar tempat eksotik atau bangunan estetik hanya demi selfie, bukan karena ingin mencari ketenangan atau memahami budaya lokal.
Dalam kerangka ini, mudik kehilangan maknanya, yaitu “merefresh” jiwa dan raga kita yang lelah di kota.
Penting bagi kita untuk memikirkan cara yang lebih bijak ke depan dalam menikmati mudik. Mengendalikan belanja makanan, pakaian, dan hiburan bukan berarti menolak kesenangan di saat mudik, tapi menimbang mana yang benar-benar memberi nilai tambah dan mana yang membuang kekayaan kita tanpa hasil.
Jangan sampai kita terjebak dalam euforia yang menguras energi dan tenaga, juga kekayaan, namun hampa makna.
Pascamudik, kita juga bisa refleksi apa yang bisa diperbaiki dan bagaimana mengintegrasikan pengalaman mudik ke dalam kehidupan sehari-hari.
Iya ini adalah langkah kecil yang sering berulang terdengar, tapi punya dampak besar, sehingga kita tidak gampang hanyut dalam arus “pokoke mudik”.
Baca juga: Desa Ditinggal, Kota Tak Menyambut