DI TENGAH hiruk-pikuk digitalisasi dan derasnya arus informasi, judi online atau judol menjelma menjadi fenomena sosial yang tak terbendung.
Meski secara statistik peluang untuk menang sangat kecil, jutaan orang tetap melibatkan diri dalam permainan yang secara sistematis dirancang untuk membuat mereka kalah.
Mengapa demikian? Apa yang sesungguhnya mereka cari dalam pusaran ketidakpastian yang dijanjikan oleh aplikasi-aplikasi tersebut?
Secara probabilistik, permainan judi—termasuk dalam format slot atau taruhan angka—memiliki return to player (RTP) rata-rata sekitar 85 hingga 95 persen.
Artinya, dari setiap Rp 100.000 yang dipertaruhkan, hanya Rp 85.000 hingga Rp 95.000 yang secara teoritis “dikembalikan” dalam jangka panjang.
Sisanya adalah keuntungan mutlak bagi penyedia layanan. Fenomena ini menciptakan house edge yang tak bisa dihindari.
Secara statistik, bandar selalu menang. Namun, meski kalah hampir pasti, daya tarik kemenangan instan dan imajinasi mengubah nasib tetap menjadi magnet yang kuat.
Baca juga: Ilusi Kelas Menengah: Hidup Nyaman, tapi Tak Pernah Cukup
Data Litbang Kompas pada 2023 mengungkap bahwa 63,4 persen pelaku judol bermain karena ingin mendapatkan penghasilan tambahan, sedangkan 22 persen mengaku sekadar iseng atau diajak teman.
Fenomena ini menunjukkan bahwa keputusan berjudi bukan semata rasional, melainkan dibentuk oleh harapan semu dan dorongan psikologis.
Dalam terminologi ilmu perilaku, ini disebut sebagai gambler’s fallacy—keyakinan irasional bahwa setelah serangkaian kekalahan, seseorang pasti akan menang.
Bahkan, sensasi “hampir menang” menghasilkan lonjakan dopamin di otak, yang serupa dengan efek zat adiktif. Dalam situasi tertentu, adiksi ini bahkan mendorong pelaku melakukan pinjaman online untuk terus bermain.
Judi, sejatinya bukan praktik baru. Sejak zaman Mesir Kuno hingga masa Romawi dan kerajaan-kerajaan Asia, berbagai bentuk perjudian sudah dikenal dan dikaitkan dengan nasib, spiritualitas, atau bahkan keberuntungan.
Di Indonesia, bentuk-bentuk tradisional seperti sabung ayam, dadu kopyok, atau togel pernah begitu mengakar sebelum akhirnya dilarang secara hukum.
Namun, judol memperluas dimensi perjudian. Ia hadir tanpa batas ruang dan waktu, tersedia 24 jam, serta dapat diakses siapa saja melalui ponsel. Fenomena ini tak hanya mempersulit pengawasan, tetapi juga memperluas segmentasi pelakunya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat telah memblokir lebih dari 2,1 juta situs judi online sejak 2018 hingga awal 2024. Meski demikian, praktik judol tetap tumbuh subur.