Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Suprianto Haseng
Karyawan Swasta

Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor

Patwal untuk "Nail Art": Privilese yang Menyingkirkan Kepentingan Publik

Kompas.com - 23/05/2025, 11:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM dunia yang dipenuhi kesibukan dan tantangan, di mana banyak orang berjuang setiap hari untuk memenuhi kebutuhan dasar, sebuah momen yang tampaknya sepele bisa memicu kemarahan mendalam.

Bayangkan seorang individu yang dengan bebasnya menggunakan fasilitas negara untuk keperluan yang tidak mendesak seperti perawatan kuku.

Sementara di sekitarnya, orang lain terjebak dalam kemacetan, berjuang mengantarkan anak ke sekolah atau mencari pengobatan.

Ketika privilese mengabaikan etika publik dan menyingkirkan kepentingan publik, kita tidak hanya bisa menyaksikan ketidakadilan yang dipertontonkan oleh mereka yang memiliki banyak uang.

Baru-baru ini media sosial kembali diramaikan oleh kontroversi yang mengguncang nurani publik. Kali ini, sorotan tertuju pada perempuan berinisial CA, sosok yang disebut sebagai asisten pribadi (aspri) pengacara kondang.

Ia mengunggah momen dirinya dikawal patwal polisi hanya untuk mengejar janji perawatan kuku atau nail art. Sontak sebagian publik marah.

Baca juga: Mencari Sanksi Tepat untuk Patwal Arogan

Video yang pertama kali viral diunggah pada 21 Mei 2025, menunjukkan CA melaju di jalur lawan arah dengan pengawalan polisi, disertai caption “Telat nail appointment” di akun Instagram-nya.

Tindakan ini bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi juga membuka luka lama tentang penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi yang sepele.

Kejadian ini mengundang kita untuk merefleksikan privilese, tanggung jawab sosial, dan integritas institusi publik di Indonesia.

Privilese mengaburkan batas etika dan abai hukum

Kasus CA bukanlah yang pertama, tetapi cukup mencolok untuk menarik perhatian publik. Pengawalan patwal, yang secara hukum diperuntukkan situasi darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran, atau pengawalan pejabat negara, digunakan untuk keperluan yang jauh dari mendesak seperti perawatan kuku.

Dalam unggahannya, CA tampak tak merasa bersalah, bahkan memamerkan hasil nail art-nya dengan caption “Fresh set” di atas tas mewah Dior.

Sikap ini mempertegas kesan arogansi, seolah-olah privilese yang dimilikinya, entah karena kedekatan dengan figur publik atau koneksi lainnya mengizinkan penyalahgunaan fasilitas negara tanpa konsekuensi.

Mayarakat umum di berbagai kanal media sosial bereaksi keras. Publik merasa dipermainkan oleh aksi yang tidak hanya memamerkan privilese, tetapi juga mengabaikan kepentingan umum.

Saat jalanan macet, di mana orang-orang berjuang menjalankan aktivitas sehari-hari, pengawalan untuk urusan sepele seperti ini terasa seperti tamparan bagi rakyat biasa.

Baca juga: Korlantas Evaluasi Penggunaan Sirene Mobil Patwal, Dianggap Mengganggu

Pengawalan patwal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, hanya diperuntukkan bagi keperluan tertentu yang memiliki prioritas tinggi.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau