
PADA malam yang dingin di London, seorang seniman hantu bernama Banksy menyelinap ke balai lelang Sotheby's. Karyanya yang ikonik, "Girl with Balloon," baru saja terjual seharga lebih dari satu juta poundsterling.
Namun, tepat saat palu diketuk, alarm berbunyi. Kanvas itu mulai bergerak turun, melewati mesin penghancur yang tersembunyi di dalam bingkainya, dan keluar dalam bentuk sobekan-sobekan kertas. Ruangan berubah menjadi gempar.
Apakah ini bencana? Bukan. Ini adalah pertunjukan. Banksy tidak sedang menghancurkan karyanya; ia sedang menyempurnakan mitosnya.
Dengan "merusak" asetnya sendiri, ia justru melipatgandakan nilainya dan mengukuhkan statusnya sebagai pemberontak jenius.
Ia mengajarkan pada dunia bahwa terkadang, cara terbaik untuk menjadi tak ternilai adalah dengan menjadi gratis atau bahkan hancur.
Pola pikir radikal inilah, dengan panggung dan irama berbeda, yang kini sedang dipertontonkan oleh seorang maestro musik di Indonesia, Ahmad Dhani.
Ketika ia dengan lantang mempersilakan kafe-kafe memutar katalog lagu Dewa 19 tanpa kewajiban membayar royalti, ia sedang berjalan melawan arus deras perjuangan hak cipta.
Ia tampak seperti seorang jenderal yang memerintahkan pasukannya untuk meletakkan senjata di tengah pertempuran.
Baca juga: Menyoal Penetapan Tersangka Direktur Mie Gacoan Bali Kasus Royalti Lagu
Namun, jangan terkecoh. Ini bukanlah tanda menyerah. Ini adalah sebuah "jurus mabuk"—serangkaian gerakan yang terlihat aneh dan tak terduga, tapi setiap langkahnya presisi dan mengarah pada satu tujuan akhir yang fatal bagi lawan.
Ini adalah seni tingkat tinggi tentang melepas genggaman pada koin receh untuk merengkuh mahkota kerajaan.
Jurus pertama: Melepas ikan teri, Memancing paus.
Inilah "The Banksy Gambit" yang dimainkan dengan sempurna. Dhani melihat bahwa menagih royalti dari ribuan kafe yang tersebar di seluruh nusantara adalah seperti mencoba menjaring ikan teri satu per satu dengan tangan kosong. Melelahkan, tidak efisien, dan hasilnya tak seberapa.
Maka, ia memutuskan untuk tidak lagi menjaring. Sebaliknya, ia menebar umpan. Ia merobek "kertas tagihan royalti"—aset kecilnya—dan menebarkannya ke lautan UMKM.
Apa yang terjadi? Lautan itu menjadi hidup. Lagu Dewa 19 menjadi banda sonora gratis bagi jutaan momen kehidupan: secangkir kopi, perbincangan senja, tawa persahabatan.
Ia mengorbankan ikan teri untuk memancing "paus raksasa": relevansi abadi. Dengan memastikan lagunya terus menjadi bagian dari denyut nadi budaya populer, ia menjaga merek Dewa 19 tetap perkasa.