Pengeluaran belanja rumah tangga kedua terbesar dialokasikan untuk kebutuhan pendidikan sebesar 16 persen, diikuti kebutuhan energi (listrik, kuota, dan lainnya) sebesar 6 persen.
Farida Mahri, Pendiri Yayasan Wangsakerta Cirebon, mengungkapkan bahwa kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menengah ke bawah menghabiskan uangnya untuk kebutuhan pangan.
Namun, ia mencatat bahwa kesadaran untuk menyediakan pangan secara mandiri di rumah dan lingkungan masing-masing masih sangat lemah.
"Lebih dari 60 persen masyarakat menghabiskan pendapatannya untuk belanja pangan," kata Farida kepada Kompas.com usai diskusi 'Peran Perempuan dan Kaum Muda dalam Pertanian Keluarga Menuju Sistem Pangan Berkelanjutan' di Saung Wangsakerta Cirebon, Minggu (7/9/2025) siang.
Farida menjelaskan bahwa penelitian ini dilakukan Yayasan Wangsakerta bersama pemerintah Desa Matangaji sejak tahun 2024 hingga saat ini.
Mereka memetakan geospasial, pertanian, pangan, sosial, ekonomi, dan lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Desa Matangaji memiliki banyak wilayah persawahan, mayoritas penduduknya justru membeli kebutuhan pangan daripada memanfaatkan hasil pertanian sendiri.
"Mayoritas mereka menjual hasil pertanian dan menggunakan uangnya untuk membeli kebutuhan pangan lagi."
"Mereka tidak menjadikan hasil panen sebagai sumber lumbung bersama yang dapat membentuk sistem ketahanan dan kedaulatan pangan mandiri," ujar Farida.
Hal serupa juga ditemukan di Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, yang merupakan basis nelayan.
Dalam penelitian yang sama, 74 kartu keluarga di desa ini, dengan 36 orang berprofesi sebagai nelayan, mengeluarkan biaya pangan sebesar 56 persen, diikuti dengan pendidikan sebesar 21 persen, dan kebutuhan peralatan nelayan sebesar 13 persen.
"Jadi meski mereka memiliki sumber pangan yang tinggi, lebih banyak hasil tangkapan dijual untuk mensubsidi kebutuhan pribadi lainnya. Berbeda dengan masa lalu, di mana kami memiliki lumbung pangan bersama di kampung," tambah Farida.
Dalam agenda "Gerakan Pertanian Keluarga", Farida berharap Pemerintah Indonesia, dari level pusat hingga desa, harus memperhatikan cadangan pangan masyarakat dengan melibatkan kaum perempuan dan pemuda.
Menurutnya, kedua aktor ini sangat penting dalam mencukupi kebutuhan pangan mandiri.
Ika N Krisnayanti, Sekjen Komite Nasional Pertanian Keluarga (KNPK) Indonesia, menegaskan bahwa krisis pangan di Indonesia sedang terjadi dan perlu segera diatasi.
Ia menyebutkan bahwa konsep pertanian keluarga adalah salah satu solusi mutlak untuk segera digerakkan.
Ika merujuk pada riset FAO (2014) yang mencatat bahwa 9 dari 10 petani dari 570 juta usaha pertanian di dunia merupakan pertanian keluarga yang menghasilkan sekitar 80% pangan dunia.
"Tanpa disadari, petani keluarga yang dinilai lingkup kecil, tapi memiliki sumbangsih bagi dunia yang begitu besar," kata Ika.
Selly Andriani Gantina, Anggota DPR RI Komisi VIII, menyatakan bahwa pemberdayaan dengan konsep pertanian keluarga sangat berkontribusi untuk negara.
Ia berencana mendorong Kementerian Sosial melalui Program Keluarga Harapan (PKH) untuk mempelajari konsep ini dan mengintegrasikannya ke dalam materi Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga (P2K2).
"Saya sangat sepakat bahwa untuk ke depan salah satu materi P2K2 akan memasukkan program pemberdayaan ekonomi dan pangan dengan konsep pertanian keluarga," kata Selly.
Secara keseluruhan, Selly menilai bahwa ancaman krisis pangan yang terjadi di banyak negara juga akan terjadi di Indonesia, yang notabene merupakan negeri agraris.
Ia melihat pertanian keluarga sebagai langkah preventif untuk mengatasi potensi krisis pangan yang lebih besar di masa depan.
https://bandung.kompas.com/read/2025/09/07/190036978/atasi-krisis-pangan-knpk-indonesia-serukan-gerakan-perempuan-dan-pemuda