DUNIA seolah sedang berpacu dengan waktu. Tahun 2030 tinggal lima tahun lagi, tapi target ambisius Ending AIDS yang dicanangkan PBB tampak semakin jauh dari genggaman.
Laporan UNAIDS terbaru memang menunjukkan kemajuan, tapi laju penurunannya melambat.
Seperti marathon yang terengah-engah di kilometer terakhir, upaya pemberantasan HIV/AIDS kini menghadapi tantangan lebih rumit daripada sekadar menemukan obat, menyebarkan kondom atau memperluas akses.
Pertama, masalah pendanaan. Setelah pandemi Covid-19, banyak negara donor mengalihkan anggaran kesehatan ke kebutuhan domestik.
Program bantuan internasional yang selama ini menjadi tulang punggung negara berkembang mulai kekurangan dana.
Di Afrika sub-sahara, kawasan dengan beban HIV tertinggi, pemotongan anggaran berarti berkurangnya distribusi obat antiretroviral (ARV) dan layanan pencegahan. Krisis yang sama mulai terasa di Asia, termasuk Indonesia.
Kedua, ketimpangan akses. Teknologi medis untuk HIV berkembang cepat, mulai dari tes cepat (rapid test) hingga profilaksis prapajanan (PrEP), tapi tidak semua bisa menikmati.
Baca juga: Merdeka dari Belenggu Penjajahan Produk Adiktif
Di kota besar, layanan kesehatan mungkin tersedia dan mudah diakses. Di daerah terpencil stigma dan jarak menjadi penghalang. Orang yang hidup dengan HIV seringkali terlambat memulai pengobatan karena takut dikucilkan.
Ketiga, perubahan epidemi. Kelompok risiko tidak lagi terbatas pada pekerja seks, pengguna narkotika suntik, atau laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.
Penularan kini juga ditemukan pada pasangan heteroseksual muda, bahkan ibu rumah tangga. Ini mengindikasikan bahwa pesan pencegahan tidak sepenuhnya tersampaikan, atau mungkin sudah tidak relevan dengan pola perilaku generasi baru.
Keempat, bayang-bayang politik. HIV/AIDS selalu terkait kebijakan. Di Amerika Serikat program bantuan global PEPFAR terancam dihentikan karena Tarik ulur politik dalam negeri.
Padahal PEPFAR adalah salah satu inisiatif paling sukses dalam menekan angka kematian HIV di negara berkembang. Ketika politik mengambil alih kemanusiaan, nyawa sering jadi taruhannya.
Selama dua dekade terakhir, inisiatif PEPFAR (President’s Emergency Plan for AIDS Relief) menjadi tulang punggung pemberantasan HIV/AIDS di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.
Namun, di era "America First" sekarang, dana program ini terancam dipotong, bukan karena gagal, tapi karena dianggap terlalu menguntungkan negara lain.
Anggaran untuk penanganan HIV/AIDS fokus di Amerika sendiri, bukan Afrika, Asia atau wilayah lain yang sangat tergantung pada bantuan AS.
Kelima, persaingan agenda kesehatan. Dunia kini menghadapi masalah baru yang tak kalah serius, yaitu krisis iklim, penyakit menular baru, dan kesehatan mental.
HIV/AIDS kehilangan sorotan utama di banyak forum internasional. Padahal penyakit ini belum hilang, dan hanya bergeser ke sudut-sudut yang jarang terlihat media.
Kondisi ini menuntut perubahan strategi. Pendekatan top down dari lembaga internasional sudah tidak cukup. Negara-negara harus menguatkan sistem kesehatan primer, memastikan ketersediaan ARV, dan memperluas pendidikan seks komprehensif.
Baca juga: Danantara dan Bahaya Cawe-cawe di Pangan
Di saat yang sama, komunitas lokal perlu dilibatkan bukan sekadar sebagai penerima bantuan, tapi sebagai penggerak utama.
Indonesia bisa belajar dari beberapa negara Afrika yang berhasil menekan infeksi baru dengan menggabungkan layanan kesehatan umum dan HIV dalam satu pintu.
Artinya, orang bisa memeriksakan kesehatan tanpa khawatir dilabeli pasien HIV. Stigma yang selama ini menjadi tembok tebal bisa perlahan runtuh.
Terlebih setelah Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dibubarkan, perencanaan dan kolaborasi pemberantasan HIV/AIDS di Indonesia menjadi tidak mudah dan anggaran pemberantasan tidak menjadi prioritas.
Teknologi digital juga bisa dimanfaatkan. Aplikasi untuk pemesanan tes mandiri, pengiriman obat secara konfidensial, hingga konsultasi online sudah mulai berkembang di beberapa negara.
Dengan penetrasi internet yang tinggi, Indonesia punya peluang besar melaksanakan layanan model ini.
Namun di atas semua itu, kemauan politik tetap menjadi kunci. HIV/AIDS tidak dapat diberantas hilang hanya dengan inovasi teknologi atau bantuan donor global.
Ia membutuhkan keberanian setiap pemerintahan untuk mengakui masalah, melawan stigma dan memasukkan pemberantasan HIV sebagai prioritas anggaran.
Kalau dunia ingin menepati janji "AIDS free 2030", langkahnya harus dipercepat sekarang juga.
Tidak ada ruang untuk menunggu hingga situasi menjadi darurat kembali. Seperti lomba lari yang mendekati garis akhir, kinilah saatnya tenaga ekstra harus dikeluarkan.
Langkah-langkah sistematis yang dapat dilakukan banyak negara termasuk Indonesia, yaitu pertama, donor internasional harus berhenti menjadikan HIV/AIDS sebagai korban politik.
Komitmen keuangan jangka panjang harus dijamin, bukan tergantung pada komitmen politik yang bisa berubah.
Baca juga: Bendera One Piece Berkibar, HAM Bergetar
Kedua, semua negara di dunia harus mengakhiri ketergantungan. Mengandalkan belas kasih negara kaya adalah strategi yang rapuh. Sistem kesehatan domestik harus diperkuat, dari puskesmas, rumah sakit, sampai laboratorium rujukan.
Ketiga, strategi komunikasi harus berubah. Pencegahan tidak lagi mengedepankan semata pesan moral atau ancaman, tapi harus realistik, jujur, dan dekat dengan kehidupan generasi muda. Pendidikan seks yang ilmiah dan benar sejak dini adalah pondasi.
Keempat, integrasi layanan HIV dengan layanan kesehatan umum. Tidak ada pintu dan layanan khusus (puskesmas, rumah sakit) yang membuat pasien dicap ODHA. Semakin normal layanan itu, semakin mudah orang mengakses tanpa rasa malu.
Waktu kita tidak banyak. Tahun 2030 tinggal lima tahun. Kalau tren sekarang dibiarkan, target bebas AIDS hanya akan menjadi catatan kaki di laporan PBB.
Dunia pernah membuktikan selama dua dekade terakhir bahwa dengan komitmen, ketersediaan dana, dan kemauan politik, angka kematian HIV/AIDS bisa turun drastis.
Namun, ketika komitmen global goyah, dana tersendat, dan politik berpaling, virus HIV akan terus bertahan dan menyerang. Tiap-tiap negara harus mengambil langkah-langkah yang perlu dan tepat.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini