KOMPAS.com - Kasus stroke, kini tidak lagi identik dengan usia tua. Dalam beberapa tahun terakhir, makin banyak orang berusia muda yang mengalami serangan stroke.
Fenomena ini bukan hanya disebabkan oleh peningkatan kesadaran masyarakat terhadap gejala dan deteksi dini stroke, tetapi juga karena perubahan besar dalam pola hidup generasi muda masa kini.
Gaya hidup yang serba cepat, minim aktivitas fisik, dan pola makan tinggi garam serta lemak menjadi kombinasi berbahaya yang perlahan menggerus kesehatan pembuluh darah.
Baca juga: Serangan Stroke Harus Ditangani dalam 4,5 Jam Pertama, Dokter Jelaskan Alasannya
Menurut dr. Zicky Yombana Babeheer, Sp.N, AIFO-K, DAIFIDN, CPS, kebiasaan “mager” alias malas bergerak, pola makan instan, dan stres menjadi penyebab utama meningkatnya risiko hipertensi dan penyakit jantung di usia produktif, dua faktor yang berujung pada stroke.
Peningkatan kasus stroke di usia muda
Dr. Zicky menyebut bahwa meningkatnya kasus stroke di usia muda dapat dilihat melalui dua sudut pandang.
“Kenapa pada usia muda semakin banyak, ini ada dua sudut pandang. Sebagian peningkatan ini terjadi karena masyarakat lebih peka terhadap gejala stroke,” katanya saat berbincang dengan rekan media di wilayah Kuningan, Jakarta pada Rabu (22/10/2025).
Menurutnya, anak muda saat ini lebih banyak mencari informasi kesehatan lewat media sosial, sehingga kasus yang dulu mungkin tidak terlaporkan, kini terdeteksi.
“Kalau sudut pandang pertama, memang informasi yang didapat lebih banyak, jadi kita lebih tahu anak muda banyak yang terkena stroke sekarang. Padahal, dulu juga ada,” tutur dr. Zicky.
Namun, peningkatan kasus ini bukan hanya karena kesadaran yang lebih baik terhadap penyakit stroke, melainkan fakta lapangan yang menunjukkan banyaknya anak usia muda terserang stroke.
“Yang sudut pandang kedua, memang faktanya lebih banyak yang terkena di usia muda sekarang,” ucapnya.
Dr. Zicky juga menggambarkan pergeseran besar dalam perilaku masyarakat modern. Saat ini, semua bisa dilakukan dengan mudah, tanpa perlu banyak bergerak.
Jika dulu aktivitas fisik menjadi bagian dari rutinitas, kini sebagian besar kebutuhan dapat diselesaikan lewat layar ponsel.
Baca juga: Kisah Sandy Selamat dari Serangan Stroke di Usia 30 Tahun
“Kalau orang zaman dulu, mau makan nanem dulu ke kebun, nyabut singkong. Sekarang mau makan tinggal cabut HP, pesan, sudah gitu minta tolong OB antar ke meja,” ungkap dr.Zicky.
Efek makanan cepat saji dan kandungan garam tinggi terhadap stroke
Kemudahan berbagai akses dari ponsel juga berdampak pada pola makan yang makin tidak sehat. Makanan cepat saji yang dipesan melalui ponsel, umumnya mengandung kadar natrium dan lemak jenuh yang banyak.
“Makanan beli jadi tuh biasanya mengandung kaya natrium atau kaya sodium,” sebut Zicky.
Konsumsi berlebih terhadap makanan cepat saji yang mengandung dua zat tersebut dapat membuat tekanan darah mudah naik.
Apabila kondisi ini dibiarkan, risiko hipertensi dan kerusakan pembuluh darah akan meningkat, yang mana akan membuka jalan bagi penyakit stroke di kemudian hari.
Lebih lanjut, dr. Zicky menerangkan bahwa tekanan darah tinggi yang berlangsung lama juga dapat mengganggu irama detak jantung.
Kondisi tersebut dikenal sebagai AFib atau atrial fibrillation (atrial fibrilasi), yaitu gangguan ketika detak jantung menjadi tidak teratur dan berisiko membentuk bekuan darah yang dapat berujung pada stroke.
“Orang-orang yang mengalami tekanan darah tinggi otomatis dalam jangka waktu tertentu sering kali akan mengakibatkan atrial fibrilasi,” lanjutnya.
AFib atau atrial fibrillation yang disebut Zicky dapat berbahaya karena gumpalan darah yang terbentuk di jantung dapat berpindah ke otak sehingga menyebabkan serangan stroke.
“Jadi relate nih, bukan AFib yang menyebabkan darah tinggi, tapi darah tinggi akan menyebabkan AFib. Setelah itu, aliran darah itu berkurang, termasuk aliran darah yang menuju ke beberapa otot jantung. Kalau kurang bagus, maka pompanya kurang bagus juga kan,” tambahnya.
Selain faktor makanan, gaya hidup yang minim aktivitas fisik juga punya pengaruh besar terhadap kesehatan pembuluh darah.
Dr. Zicky menyoroti kebiasaan beberapa orang di generasi muda yang tetap diam setelah makan, tanpa melakukan aktivitas ringan sekalipun.
Baca juga: Apa Itu Atrial Fibrilasi, Masalah Jantung yang Bisa Sebabkan Stroke?
“Sudah makan, tolong cuci piring, tolong dong buangin. Dia diam doang, gerak enggak,” ujarnya menggambarkan perilaku sehari-hari yang akrab di kalangan muda.
Kebiasaan malas bergerak seperti ini, katanya, akan membuat tubuh lebih rentan mengalami peningkatan tekanan darah.
“Akhirnya kalau kaya gitu kira-kira tensi naik enggak? Ya, tensinya akan naik,” tambahnya.
Dalam jangka panjang, gaya hidup minim aktivitas dapat memicu penumpukan lemak di area perut.
Kondisi ini menjadi tanda awal dari sindrom metabolik, yaitu sekumpulan faktor risiko yang meliputi obesitas, tekanan darah tinggi, kadar gula berlebih, serta gangguan kolesterol.
“Sudah gitu obesitas, dilihat dari lingkar perut biasanya. Itu disebut sindrom metabolik. Sindrom metabolik ini adalah salah satu faktor risiko terjadinya serangan stroke dan penyakit kardiovaskular lainnya, termasuk serangan jantung,” jelas dr. Zicky.
Terkait kondisi ini, dr. Zicky menekankan, kesehatan tubuh tidak hanya ditentukan oleh makanan dan gaya hidup, tetapi juga seberapa sering seseorang bergerak setiap hari.
“Lifestyle ini bukan kita cuma ngomong makanan, bukan cuma ngomong rokok. Gerak dong, gitu loh. Karena banyak sekali anak-anak zaman sekarang umurnya masih 25, cuma ya badannya dua kali saya gitu kan,” paparnya.
Fenomena meningkatnya kasus stroke di usia muda, seakan menjadi pengingat bahwa pola hidup modern tidak selalu sejalan dengan kesehatan.
Kebiasaan sederhana, seperti berjalan kaki, mengurangi makanan tinggi garam, dan meluangkan waktu untuk berolahraga dapat membantu menurunkan risiko stroke.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang