Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Semakin kita jauh menjelajahi dunia internet ternyata kita menemui bahwa manusia kini mulai terdengar naif.
Kecepatan dan jangkauan komunikasi yang ditawarkannya telah memungkinkan pertukaran ide dan kerja sama lintas batas, fitur yang sama juga telah menguatkan kembali kecenderungan tribalisme dan konflik manusia - bahkan mungkin lebih buruk.
Per Maret 2023, pemerintah Indonesia mencatat hampir 1,4 juta kasus konten negatif di media sosial, meliputi ujaran kebencian, hoaks, penipuan, pencemaran nama baik, pornografi, pelanggaran hak cipta, doxing, perjudian, dan perdagangan ilegal.
Sementara itu, selama kampanye Pemilu 2024 saja, studi Monash University bersama Aliansi Jurnalis Independen Indonesia menemukan lebih dari 120 ribu cuitan ujaran kebencian.
Lebih mudah untuk mengenyahkan masalah ini dengan menuduh sebagian kecil sosiopat online, atau biasa disebut "troll", sebagai penyebab semua kerusakan tersebut.
Mereka memang terkadang mengacau: misoginis yang berpartisipasi dalam "Gamergate", sebuah kampanye pelecehan terhadap perempuan dalam industri video game, atau streamer yang memicu kegaduhan publik demi memperoleh banyak audiens.
Bagaimanapun, kenyataannya jauh lebih sederhana tetapi membingungkan: sebagian besar pelakunya adalah orang biasa, seperti Anda dan saya.
Dalam situasi yang tepat, siapa pun bisa menjadi troll. Dan tampaknya kita semua terlalu sering berada dalam situasi yang tepat. Mengapa begitu banyak orang-orang (baik) yang berbuat jahat di dunia maya?
Apakah karena platformnya?
X (Twitter) sering dianggap sebagai platform media sosial paling toxic, tetapi pola bahaya dan keterlibatan serupa juga teramati di platform lain.
Hal ini mengindikasikan bahwa dinamika toksisitas daring (online toxicity) mungkin merupakan aspek mendasar dari interaksi manusia di ruang digital, dan tidak terlalu dipengaruhi oleh desain, budaya, atau kebijakan moderasi platform tertentu.
Apakah ada sesuatu di media sosial yang membuat sebagian orang, bahkan mereka yang sangat ramah sekalipun di dunia nyata, berperilaku buruk? Ada apa dengan lingkungan media sosial yang menyebabkan lebih banyak toksisitas selama komunikasi sosial daripada yang kita temukan dalam komunikasi tatap muka?
Anonimitas merupakan faktor yang paling banyak dibahas. Kedengarannya memang masuk akal untuk mengasumsikan bahwa orang lebih berani mengeluarkan sifat terburuknya secara online ketika semua orang tidak mengenalnya. Tanyakan saja pada orang yang memiliki second account, kemudian bandingkan bagaimana mereka berperilaku di first account-nya.
Namun, betapa pun menghibur untuk berpikir bahwa di luar sana ada musuh tidak dikenal yang bertanggung jawab atas kerusakan ini.
Wikipedia menemukan bahwa lebih dari separuh serangan pribadi terhadap editor Wikipedia dilakukan oleh para kontributor terdaftar, bukan akun anonim.
Cek kembali diskusi paling kasar yang pernah Anda temukan di media sosial, dan Anda akan mendapati betapa banyak orang yang tidak segan-segan berkomentar toxic dan melecehkan dengan identitas mereka yang sangat publik dan mudah diidentifikasi.
Faktanya tidak sedikit publik figur yang menjadi pelaku (bukan korban) pelecehan di dunia digital.
Daripada anonimitas belaka, mungkin kurangnya visibilitas dan isyarat visual lebih bertanggung jawab dengan menempatkan kita selangkah lebih jauh dari satu sama lain.