Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Bila semua orang tua merasa perlu memberikan hadiah agar anaknya diperhatikan, maka pendidikan telah berubah dari ruang belajar menjadi ruang transaksi rasa.
Gratifikasi kecil-kecilan sesungguhnya sudah lama berlangsung di lingkungan sekolah. Bahkan, praktik ini bukan hal baru bagi saya, sejak masa SMA dulu, saya sudah menyaksikan bagaimana orang tua siswa memberikan "embel-embel" kepada guru maupun wali kelas.
Saya masih ingat betul, sewaktu saya masih duduk di bangku SD pada tahun 1990-an, saya mendengar cerita dari mamak tentang seorang ibu, teman dekatnya, yang rutin memberikan berbagai hadiah kepada wali kelas anaknya.
Terus terang, saya pun pernah mengalami hal serupa ketika menjadi guru dan wali kelas. Saya bukan bermaksud menyombongkan diri, apalagi merasa bangga. Justru, saya sempat dibuat bingung sendiri oleh jumlah bingkisan yang saya terima.
Saat itu, membawa hadiah sebanyak itu naik ojek jelas tidak mungkin, apalagi memasukkannya ke dalam kardus, saking banyaknya!
Namun, pengalaman yang paling membekas adalah saat pembagian rapor tiba. Seorang ibu, yang sebelumnya pernah memberikan bingkisan menjelang Idulfitri, dengan nada penuh penegasan dan sedikit cemas bertanya, “Gimana rapor anak saya, Pak? Pasti naik, kan, ya?”
Sekilas, pertanyaan itu terdengar biasa saja. Tapi dalam hati saya, langsung terbayang sebuah kenyataan, bahwa di balik setiap pemberian dari orang tua, selalu ada harapan terselip agar anak mereka diperlakukan istimewa.
Pada Hati yang Lemah
Saya sebenarnya sudah mewanti-wanti hati ini agar mampu berdiri tegak lurus saat memberikan penilaian kepada murid-murid. Jangan sampai, walau sekali, saya mengistimewakan salah satu dari mereka.
Sejak pertama kali menerima hadiah, dari mulai biskuit, sarung, hingga uba rampe lainnya, saya selalu mencoba meyakinkan diri bahwa setiap pemberian dari orang tua murid tidak akan memengaruhi cara saya memperlakukan anak-anak mereka.
Pada setiap tangan yang terbuka menerima, saya bisikkan ke dalam hati, “Ini bukan awal dari perlakuan yang berbeda.”
Namun, hati manusia bukanlah terbuat dari baja, batu, apalagi tungsten, logam yang konon paling kuat di bumi. Hati saya tetaplah hati manusia biasa, lemah dan mudah goyah.
Kebimbangan mulai menyeruak, terutama saat tiba waktunya memberikan penilaian. Yang terlintas di kepala bukan lagi catatan tugas atau hasil ulangan, melainkan wajah para orang tua dan bingkisan yang pernah mereka berikan.
Nilai nyaris melenceng dari objektivitas, tergoda oleh subjektivitas yang lahir dari sekadar rasa tidak enak hati.
Anak-anak yang kurang dalam penugasan, jarang hadir, atau bahkan kerap tidak mengerjakan latihan, justru menjadi beban pertimbangan tersendiri.