Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Masa pensiun tak sekadar mempersiapkan dana pensiun sejak dini, namun lebih kepada sebuah strategi yang membuat masa pensiun tetap sejahtera nanti.
Mereka yang saya kenal, kini tertatih dalam perekonomian yang semakin menekan. Mamang Cireng, begitu anak-anak mengenalnya. Beberapa tahun lalu, mungkin kurang dari tiga tahun, kami sering bertemu di pagi maupun sore hari.
Beliau berkeliling dengan gerobak portabel yang selalu menempel di jok motornya, lengkap dengan segala peralatan penyaji cireng. Mencari kerumunan anak-anak, biasanya di sekitar sekolah-sekolah saat jam belajar mereka belum usai.
Padahal, seharusnya untuk orang seusianya, waktu itu sudah dihabiskan dengan tenang di rumah, menikmati masa tua bersama keluarga, istri, anak, dan cucu. Namun sayangnya, beliau justru masih harus berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ada juga Mbah Solar, bukan Mat Solar, ya. Di masa senjanya, beliau harus mengantarkan bahan bakar minyak (BBM) eceran ke warung-warung dengan angkot bututnya, demi memenuhi kebutuhan hidup.
Caranya pun, saya pikir, agak abu-abu secara legal. Beliau mengantre BBM dengan angkot yang meninggalkan jelaga hitam di mana pun lewat.
Meski langkahnya sudah tak seimbang karena kesehatan menurun, kemudi angkotnya masih gesit seperti sopir muda yang penuh tenaga.
Terkadang, kami para tetangga merasa khawatir. Tua, tak seimbang, tapi masih mengemudikan kendaraan. Bukankah itu berisiko?
Namun, akhirnya, semua hanya bisa memaklumi. Dalam kondisi menua, sendirian, tanpa rumah sendiri, dan terlilit utang ke sana-sini. Sungguh pilu.
Sesungguhnya mereka bukan orang sembarangan dulu. Mamang Cireng dan Mbah Solar adalah mantan pegawai negeri sipil. Mamang Cireng bertugas sebagai PNS di luar kota sebelum pensiun.
Mbah Solar pun demikian. Sosoknya masih lekat dalam ingatan saya. Ia adalah ketua rukun tetangga saat ayah saya menjadi Bayan, sebuah jabatan yang kini sudah punah.
Ada satu benang merah yang menghubungkan keduanya, nasib yang sama, keduanya adalah pensiunan.
Mulai Investasi
Satu hal yang sering terlewatkan atau bahkan gagal disadari, pensiun adalah ketetapan pasti dalam kehidupan setiap pekerja.
Ini bukan soal pilihan, tapi sebuah kepastian yang harus dihadapi. Kesadaran ini penting, terutama bagi mereka yang menggantungkan hidup sepenuhnya pada gaji bulanan.
Saya dan istri pun tidak terkecuali. Meski perekonomian sering berguncang, gaji yang katanya naik tapi kadang hanya sekadar ilusi, dan beragam kebutuhan yang tanpa henti menggerus isi dompet, kami sadar akan pentingnya mempersiapkan masa pensiun sejak awal.
Istri saya selalu tertarik dengan logam mulia, emas dan sejenisnya, yang harganya akhir-akhir ini naik dengan sangat menggoda. Katanya, logam-logam berkilau itu adalah salah satu cara menjaga kekayaan agar tidak terkikis inflasi.
Sementara itu, saya memilih jalan yang berbeda. Selain menabung, saya mencoba berinvestasi, meskipun banyak yang menganggapnya berisiko. Saya menaruh sebagian portofolio pada saham.
Logam mulia menjadi pelindung nilai kekayaan kami, sedangkan investasi saham adalah harapan untuk mendapatkan “cuan” yang bisa menopang saat masa pensiun tiba.
Kami juga harus berjuang menyeimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. Harga barang terus melonjak, biaya pendidikan anak yang semakin membubung, sementara pemasukan kami tetap, hanya dari gaji.
Bukan karena malas atau enggan mencari penghasilan tambahan, tapi waktu seperti tak berpihak. Dari pagi hingga petang kami bekerja, kapan lagi bisa mencari tambahan?
Maka, bagi kami, nyicil investasi secara konsisten adalah pilihan terbaik. Tidak memberatkan tapi memberi harapan masa depan.
Harapan kami sederhana, sedikit demi sedikit menabung logam mulia dan investasi saham dari sisa gaji, menjadi bekal yang cukup kuat untuk menyambut masa pensiun.
Kisah nyata dari Mamang Cireng dan Mbah Solar, tetangga kami yang harus bertahan dalam kondisi sulit di masa pensiun, menjadi pelajaran berharga.
Bahwa pensiun itu pasti. Dan kita harus mempersiapkannya sejak sekarang, walau masa itu terasa jauh di depan mata.
Jangan Hutang
Ini bukan sekadar gosip, tapi fakta yang terjadi. Kedua sosok yang saya kenal, Mamang Cireng dan Mbah Solar, mengalami kesulitan ekonomi karena gaji pensiun mereka masih terpotong cicilan pinjaman hingga saat ini.
Karena itu, saya selalu mengingatkan istri, “Sudahlah, mari kita hidup sesuai kemampuan. Jangan sampai pasak lebih besar daripada tiang.” Jangan sampai gaji yang kita terima habis hanya untuk membayar cicilan utang.
Apalagi jika kebiasaan itu terbawa sampai masa pensiun. Ketika gaji sudah tak lagi utuh seratus persen, mau dipotong lagi hanya demi memuaskan keinginan-keinginan yang tak ada habisnya dan belum tentu perlu?
Saya dan istri berusaha mencicil keberanian, bukan untuk berutang, tapi untuk melatih mental agar tidak mudah tergoda mengambil pinjaman di mana pun, dalam situasi apa pun.
Berutang memang bukan kesalahan jika dalam kondisi darurat, tapi kami sedang membiasakan diri agar tidak ketergantungan, tidak menjadi tuman berutang untuk segala keinginan yang datang silih berganti tanpa henti.
Kita semua tahu, kebiasaan akan membentuk karakter. Dan karakter yang sudah tertanam dalam hati itu sulit diubah.
Maka dengan sepenuh hati dan seluruh tenaga, kami bertekad menghindari berutang. Agar kelak, saat masa pensiun tiba, kami tidak tergoda mengajukan pinjaman demi memenuhi keinginan-keinginan kecil yang sesungguhnya tidak begitu penting.
Sebab, justru keinginan-keinginan kecil itulah yang tanpa sadar dapat menggerus kekayaan, bahkan merampas kebahagiaan di masa tua dan masa pensiun.
Pendidikan Sebagai Investasi
Saya masih sering teringat pesan orang tua kami dulu. Mereka tidak mewariskan harta benda melimpah, tetapi dengan segala tenaga dan pengorbanan, mereka berusaha keras agar kami bisa menuntaskan pendidikan sampai perguruan tinggi.
Mereka selalu bilang, harta benda bisa habis dan lenyap seiring waktu yang terus berjalan tanpa ampun. Namun pendidikan, terutama ijazah dari perguruan tinggi, adalah investasi yang nilainya tak lekang oleh zaman.
Imbal baliknya bahkan melampaui harapan mereka sendiri. Saya dan ketiga kakak saya berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi, dan kini kami semua bekerja sebagai pegawai negeri.
Sekali lagi, ini bukan untuk bergosip atau menjelekkan siapa pun. Namun, dengan segala hormat kepada Mamang Cireng dan Mbah Solar, tampaknya mereka dulu kurang memandang pendidikan sebagai investasi. Anak-anak mereka, sayangnya, hidup tanpa arah dan jenjang pendidikan yang memadai.
Padahal sejatinya, pendidikan memang sebuah investasi. Bukan hanya untuk masa depan anak-anak, tapi juga sebagai bekal bagi orang tua saat menua dan memasuki masa pensiun.
Memang benar, ijazah perguruan tinggi tidak selalu menjamin kebahagiaan hakiki. Namun, ijazah itu menjadi modal dasar yang membawa potensi besar untuk membangun kehidupan lebih baik di kemudian hari.
Hampir semua pekerjaan sekarang mensyaratkan ijazah. Jadi sangat wajar bila pendidikan anak dianggap sebagai investasi yang sangat penting.
Rumus sederhananya, kebahagiaan anak adalah kebahagiaan orang tua. Kesejahteraan anak akan berujung pada kesejahteraan orang tua pula.
Karena itu, dalam persiapan menyambut masa tua dan pensiun, kami mendorong anak-anak kami menempuh pendidikan sebaik mungkin, di negeri ini.
Setidaknya, jalur ini telah dilalui oleh banyak pensiunan pegawai negeri yang kini menikmati masa tua dengan tenang, bebas dari beban ekonomi. Mereka hidup berdampingan dengan anak-anak yang mandiri dan sejahtera, sehingga tidak menjadi beban bagi orang tua di masa pensiun.
Maka, tak salah jika kami meyakini pendidikan anak sebagai salah satu investasi terbaik untuk masa pensiun kami kelak.
Sedia Payung Sebelum Hujan
Ini bukan kisah fiksi. Saya sedang menyampaikan kenyataan yang kerap terjadi, seseorang pensiun, lalu terlunta-lunta dan menua dalam kesulitan ekonomi. Fenomena yang kita saksikan hari ini bisa saja menjadi gambaran tentang diri kita di masa mendatang.
Kedua kondisi itu, yang bahagia dan yang terlunta, adalah cermin bagi kita semua. Cermin yang menampilkan apa saja yang seharusnya kita persiapkan sejak dini, sekaligus memberi bayangan suram tentang apa yang mungkin terjadi bila kita abai dalam menata masa depan. Bukan untuk menghakimi, melainkan untuk belajar dari realitas yang nyata, dari masyarakat sekitar kita sendiri.
Sebagaimana pepatah lama mengingatkan, sedia payung sebelum hujan, maka sejak beberapa tahun lalu, rumah tangga kami mulai berbenah. Pelan tapi pasti, kami menyiapkan masa pensiun agar kelak tidak terlunta, tidak terpuruk, dan tetap dapat menjalani hidup dengan bahagia serta terhormat di tengah masyarakat.
Sebab sejatinya, kebahagiaan di masa pensiun kelak merupakan buah dari kesadaran dan jerih payah yang kita tanam hari ini. Dan sepertinya, masa pensiun memang tak cukup hanya dengan mempersiapkan dana semata, tetapi juga memerlukan strategi hidup yang matang, agar masa tua tidak sekadar panjang usia, tetapi juga penuh sejahtera.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Sedia Pensiun Sebelum Tiba"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.