Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Ada yang masih belum dapat perhatian lebih dari pendidikan kita: para siswa difabel.
Pendidikan inklusif dan bagaimana sistem pendukung semestinya dapat mengubah ke arah yang lebih baik.
Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, tanpa memandang kondisi fisik atau mental yang dimiliki.
Namun, sistem pendidikan di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif bagi siswa difabel.
Salah satu peristiwa yang mengungkap kesulitan ini adalah relokasi mendadak siswa tunanetra SLB Negeri A Pajajaran ke SLB Cicendo, Bandung.
Peristiwa ini menunjukkan dengan jelas bahwa pendidikan inklusif tak hanya memerlukan akses fisik ke ruang kelas, tapi juga sistem pendukung yang menyeluruh.
Serta penghapusan hambatan lingkungan yang dapat menghalangi partisipasi penuh siswa difabel dalam kegiatan belajar.
Relokasi SLB Pajajaran Ungkap Tantangan Nyata
Pada 19 Mei 2025, sejumlah siswa tunanetra dari SLB Negeri A Pajajaran dipindahkan sementara ke SLB Cicendo untuk memungkinkan renovasi gedung sekolah yang sudah tua.
Relokasi ini menimbulkan tantangan, terutama bagi siswa yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang tidak dipersiapkan secara optimal untuk kebutuhan mereka.
Dalam proses ini, siswa mengalami kesulitan orientasi di ruang baru, seperti yang dialami oleh Anisa Nurdiansyah dan Aja, dua siswa berusia 18 dan 19 tahun yang harus menghafal lokasi-lokasi di sekolah baru mereka, sebuah tugas yang sangat berat bagi individu dengan gangguan penglihatan (Kompas.id, 2025).
Perjuangan yang dialami siswa-siswa tersebut menggambarkan ketidaksiapan lingkungan dalam memberikan fasilitas yang ramah bagi difabel.
Ini bukanlah masalah yang bersifat sepele, tapi sebuah masalah sistemik yang perlu diperhatikan lebih serius oleh pihak-pihak terkait dalam pendidikan.
Relokasi mendadak yang tidak mempertimbangkan kebutuhan siswa difabel menunjukkan bahwa kita masih kekurangan pemahaman tentang pentingnya menciptakan ruang belajar yang inklusif, yang tidak hanya memberikan tempat, tapi juga menyediakan sistem dan pendukung yang memadai untuk siswa difabel.
Perspektif Teori Model Sosial
Untuk lebih memahami mengapa siswa tunanetra SLB Pajajaran mengalami kesulitan beradaptasi, kita dapat merujuk pada Teori Model Sosial Disabilitas, yang dikemukakan oleh Mike Oliver.
Teori ini menyatakan bahwa disabilitas bukan hanya keterbatasan fisik atau medis dari individu, tetapi lebih merupakan produk dari hambatan-hambatan yang diciptakan oleh lingkungan dan struktur sosial yang ada (P2K Stekom, 2025).
Dalam hal ini, siswa-siswa tunanetra menghadapi hambatan lingkungan yang signifikan di SLB Cicendo, di mana mereka harus berusaha keras untuk beradaptasi dengan ruang yang tidak disiapkan untuk mendukung mereka.
Menurut Model Sosial Disabilitas, disabilitas muncul ketika struktur sosial dan lingkungan tidak mendukung kebutuhan individu yang memiliki keterbatasan fisik atau mental.
Dalam kasus siswa SLB Pajajaran, relokasi yang tidak mempertimbangkan kebutuhan spesifik siswa tunanetra justru menciptakan disabilitas baru, berupa kesulitan orientasi dan penyesuaian dengan ruang yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Jika lingkungan lebih dipersiapkan dengan fasilitas yang ramah difabel, maka hambatan-hambatan ini bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan sama sekali.
Mendesaknya Sistem Pendukung dan Lingkungan Adaptif
Pendidikan inklusif yang efektif memerlukan lebih dari sekadar menyediakan ruang kelas yang bisa diakses oleh semua siswa.
Untuk memastikan bahwa semua siswa dapat belajar dengan optimal, pendidikan harus menciptakan sistem pendukung yang komprehensif dan lingkungan yang adaptif.
Penelitian menunjukkan bahwa siswa tunanetra dapat mengalami kesulitan besar dalam belajar jika lingkungan fisik dan sosial tidak mendukung mereka (Scribd, 2025).
Oleh karena itu, penting bagi setiap sekolah untuk mengimplementasikan sistem pendukung yang tidak hanya mencakup aksesibilitas fisik, tetapi juga dukungan emosional dan psikologis, serta pelatihan yang memadai bagi pendidik dalam menghadapi kebutuhan siswa difabel.
Sistem pendidikan inklusif harus mampu mengakomodasi kebutuhan berbagai kelompok siswa, termasuk mereka yang memiliki gangguan penglihatan.
Fasilitas yang mendukung seperti panduan audio, teknologi bantu, dan pendampingan emosional sangat penting untuk memastikan bahwa siswa difabel bisa berpartisipasi secara penuh dalam proses belajar.
Guru dan tenaga pendidik juga perlu dilatih agar mereka bisa menangani kebutuhan khusus yang mungkin dimiliki oleh siswa difabel dengan cara yang efektif dan empatik.
Wujudkan Pendidikan Adil dan Merata untuk Semua
Membangun sistem pendidikan yang ramah difabel memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah, sekolah, guru, maupun masyarakat.
Pendidikan inklusif seharusnya berlandaskan pada prinsip bahwa setiap orang, tanpa pengecualian, berhak memperoleh pendidikan yang bermutu.
Pendidikan tersebut tidak hanya memberikan akses fisik ke ruang kelas, tetapi juga menghilangkan segala hambatan lingkungan yang dapat menghalangi potensi mereka untuk berkembang.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Menumbuhkan Pendidikan Inklusif Tanpa Hambatan Bagi Difabel"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.