KOMPAS.com - Studi baru mengungkapkan hiu paus di wilayah pariwisata populer sebagian besar mengalami cedera akibat aktivitas manusia.
Studi mencatat, 80 persen cedera hiu paus di perairan Indonesia merupakan bekas luka akibat tabrakan dengan perahu atau anjungan penangkapan ikan.
Dalam studinya, peneliti melacak 268 hiu paus selama 13 tahun di perairan Bird’s Head Seascape, Papua Barat, yang merupakan kawasan keanekaragaman hayati global dan destinasi wisata hiu paus yang populer.
Mereka menemukan bahwa tiga perempat dari hiu paus tersebut memiliki bekas luka atau luka terbuka, yang biasanya disebabkan oleh gesekan dengan anjungan penangkapan ikan yang dikenal sebagai bagan atau dari perahu-perahu wisata.
Sebagian besar hiu paus memiliki luka lecet ringan, tetapi hampir satu dari lima hiu paus mengalami luka serius, seperti amputasi atau luka sayatan dalam akibat baling-baling kapal.
Baca juga: Dubes Turki Ungkap Bagaimana Indonesia Bisa Tiru Negaranya dalam Pariwisata Berkelanjutan
"Luka dan cedera sebagian besar berasal dari penyebab antropogenik (ulah manusia), seperti tabrakan dengan anjungan penangkapan ikan dan perahu wisata pengamat hiu paus," kata Dr. Edy Setyawan, ilmuwan konservasi utama di Elasmobranch Institute Indonesia.
"Luka lecet minor yang relatif tidak berbahaya adalah jenis luka yang paling umum. Sementara itu, luka serius akibat penyebab alami, seperti serangan predator, atau akibat baling-baling perahu, jauh lebih jarang terjadi," katanya lagi, seperti dikutip dari Independent, Kamis (28/8/2025).
Hiu paus terdaftar sebagai spesies yang terancam punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Populasi mereka telah menurun lebih dari 50 persen secara global selama 75 tahun terakhir, dan bahkan mencapai 63 persen di wilayah Indo-Pasifik.
Butuh waktu hingga 30 tahun bagi mereka untuk mencapai kematangan seksual, sehingga populasi hiu paus pulih dengan sangat lambat dari ancaman-ancaman seperti perburuan, terjerat jaring, dan hilangnya habitat.
Sebagian besar hiu paus di Papua adalah jantan remaja dengan panjang empat hingga lima meter.
Mereka menghabiskan lebih banyak waktu di dekat permukaan air dan di sekitar anjungan penangkapan ikan (bagan). Hiu paus juga sering berkumpul di dekat bagan untuk langsung menyedot ikan teri dan ikan umpan lainnya dari jaring.
"Studi-studi sebelumnya dari seluruh dunia telah menunjukkan bahwa hiu paus dewasa, terutama yang betina, lebih menyukai laut dalam di mana mereka memangsa krill dan ikan yang berkoloni. Sementara itu, hiu paus jantan yang lebih muda tetap berada di dekat pantai di perairan dangkal yang kaya akan plankton, yang membantu mereka tumbuh dengan cepat," kata Mochamad Iqbal Herwata Putra dari Konservasi Indonesia, salah satu penulis studi.
Lebih lanjut, hampir separuh hiu telah terlihat kembali setidaknya sekali. Satu individu tercatat 34 kali selama tiga tahun.
Para peneliti mengatakan bahwa tingginya tingkat residensi (menetap) ini menunjukkan bahwa hiu paus harus dianggap sebagai aset pariwisata yang berharga bagi masyarakat lokal.
Baca juga: Pariwisata Jadi Kontributor Pertumbuhan Ekonomi tapi Rentah Perubahan Iklim
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya