JAKARTA, KOMPAS.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa keuangan berkelanjutan sangat penting untuk menghadapi krisis iklim. Direktur Keuangan Berkelanjutan OJK, Joko Siswanto, mengungkapkan hal itu karena adanya perubahan paradigma.
Investor dan masyarakat kini menyadari pembangunan tidak bisa lagi dilakukan melalui business as usual atau menjalankan bisnis tanpa strategi baru.
"Jadi harus mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan, sehingga terjadi perubahan paradigma dalam cara berpikir mereka," ujar Joko dalam Lestari Summit and Awards 2025 di Jakarta Selatan, Kamis (2/10/2025).
Kedua, adanya peluang sekaligus risiko dari perubahan iklim. Alasan terakhir, keuangan berkelanjutan memiliki landasan kuat secara konstitusional dan regulasi yang diatur dalam Pasal 28H Undang-Undang 1945 tentang Hak Masyarakat atas Lingkungan Hidup yang sehat. Lalu Pasal 33 yang menekankan prinsip keberlanjutan dalam demokrasi ekonomi.
Baca juga: Akselerasi Investasi Hijau Jadi Kunci Menuju Bisnis Berkelanjutan
"Negara kita dianugerahi kawasan hutan yang cukup sangat luas di dunia dan kalau enggak salah nomer dua atau nomer tiga di dunia untuk tutupan lahan hutannya dan ini yang akan memberikan sumbangan yang sangat penting bagi pencapainan target Net Zero Emission," jelas Joko.
Proyek Folu Net Sink 2030 juga menargetkan penyerapan karbon dioksida di sektor kehutanan sebesar 140 juta ton CO2 ekuivalen. Menurut Joko, target tersebut membutuhkan investasi yang sangat besar.
“OJK punya komitmen yang cukup kuat untuk mendukung upaya-upaya atau komitmen keberlanjutan tersebut, dengan beberapa regulasi-regulasi yang dapat mendukung tujuan tersebut,” tutur dia.
Pihaknya telah mengeluarkan Peraturan OJK Tahun 2017 tentang penerapan keuangan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik. Aturan ini mencakup dukungan menyeluruh dari sektor jasa keuangan untuk menciptakan pertumbuhan berkelanjutan dengan menyalaraskan ekonomi, sosial, dan keuangan.
“Itu tidak lama sejak kita meratifikasi Paris Agreement, di 2017 langsung OJK mengeluarkan peraturan itu untuk mendukung komunikasi pemerintah. Kemudian di 2023 diperkuat lagi kerangka hukumnya dituangkan dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan,” ucap Joko.
“Bahwa keuangan berkelanjutan itu memang harus ditekan dalam Undang-Undang supaya menjadi komitmen yang lebih kuat dan lebih luas jangkauannya,” lanjut dia.
Baca juga: Lestari Summit & Awards 2025: Kolaborasi sebagai Kunci Masa Depan Berkelanjutan
World Risk Index 2024 mencatat, Indonesia merupakan negara kedua dengan risiko bencana tertunggi di dunia setelah Filipina. Kondisi ini berdampak pada sosial, ekonomi, dan lingkungan.
“Secara ekonomi Bappenas pernah melakukan kajian di 2023, akibat dari perubahan iklim di Indonesia memiliki potensi kerugian ekonomi lebih dari Rp 500 triliun,” kata Joko.
Oleh karena itu dunia memulai langkah yang konkret guna mengatasi dampak perubahan iklim melalui perubahan paradigma pembangunan yang sebelumnya berorientasinya pada pertumbuhan ekonomi. Kini mengedepankan pembangunan berkelanjutan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya