KOMPAS.com - Negara-negara di Asia tengah mempertimbangkan penggunaan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (CCS) untuk mengelola emisi bahan bakar fosil.
Akan tetapi sebuah laporan baru memperingatkan langkah tersebut justru berpotensi menambah emisi hingga 25 miliar ton pada tahun 2050.
Laporan dari Climate Analytics ini menyebut strategi CCS sebagai risiko yang signifikan dan tidak perlu yang mengancam Perjanjian Paris serta stabilitas keuangan negara-negara Asia tersebut.
Melansir Know ESG, Selasa (7/10/2025) studi ini menganalisis rencana dan proyek CCS di negara-negara termasuk China, India, Jepang, Korea Selatan, Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Australia.
Baca juga: Investasi CCS yang Masuk Indonesia Capai Rp 640,79 triliun
Total emisi gas rumah kaca dan bahan bakar fosil dari negara-negara tersebut mencapai lebih dari 50 persen dari total emisi global.
Asosiasi industri dan sejumlah pemerintah telah mempromosikan CCS sebagai cara untuk memangkas emisi bahan bakar fosil.
Meskipun demikian, laporan tersebut menyebutkan bahwa teknologi ini masih terkendala masalah teknis, efisiensi penangkapan yang minim, dan biaya operasional yang mahal.
Semua kekurangan ini membuat CCS jauh kalah menarik dibandingkan dengan solusi energi terbarukan yang dikombinasikan dengan penyimpanan energi dan elektrifikasi.
Climate Analytics berpendapat bahwa jika negara-negara meneruskan proyek CCS, mereka malah berisiko terjebak dalam ketergantungan bahan bakar fosil yang tidak dikurangi emisinya selama puluhan tahun.
Risiko ini akan berujung pada aset yang mangkrak yaitu infrastruktur fosil yang kehilangan nilai ekonomisnya, serta menghalangi pencapaian target 1,5 derajat C sesuai Perjanjian Paris.
Lebih lanjut, laporan itu menggarisbawahi bahwa penerapan CCS di sektor pembangkit listrik sangatlah mahal.
Biaya listrik yang dihasilkan setidaknya dua kali lipat dari rata-rata biaya global listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan yang sudah memiliki fasilitas penyimpanan.
Baca juga: Kebocoran CCS Berisiko Perparah Perubahan Iklim, Bagaimana Mitigasinya?
Laporan juga menyatakan bahwa untuk sektor industri yang emisinya sulit dihilangkan, terdapat alternatif-alternatif yang lebih realistis yang tidak harus mengandalkan CCS, karena teknologi CCS sendiri masih menghasilkan emisi karbon.
Bill Hare, CEO Climate Analytics, mengatakan bahwa negara-negara Asia berada di persimpangan jalan.
Walaupun belum ada negara yang secara total memilih jalur CCS yang ambisius, banyak di antara mereka terutama Jepang, Korea Selatan, dan Australia telah merancang kebijakan yang mengutamakan kepentingan bahan bakar fosil.
Hare menilai ini sebagai langkah yang membahayakan iklim dan perekonomian negara, mengingat adanya alternatif yang jauh lebih bersih dan lebih terjangkau.
Baca juga: Eropa Jadi Pasar Paling Menarik untuk Investasi Energi Terbarukan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya