Ratna menjelaskan bagaimana mereka tidak hanya mengajak masyarakat untuk mendengarkan, tetapi juga membawa isu udara bersih ke meja-meja pembuat keputusan, termasuk bertemu dengan calon presiden dan gubernur.
Baca juga: Mengurai Jejak Pohon, Begini Kiprah 2 Perempuan Peneliti di Garis Depan Forensik Kayu Indonesia
Program Biru Voices, dimulai dari kampus, kini melibatkan orang tua dengan program Duta Udara Bersih.
"Cerita kami sebagai seorang ibu itu resonan bukan hanya dengan anak ibu atau ayah, tapi dengan semua orang," ungkap Ratna.
Sementara itu, program Biru School Alliance membawa edukasi sains tentang udara ke sekolah-sekolah agar generasi muda memahami pentingnya kualitas udara sejak dini.
Advokasi Bicara Udara telah mencapai tingkat strategis. Mereka menjadi anggota Komite Penanggulangan Penyakit Respirasi dan Polusi Udara Kementerian Kesehatan serta melakukan audiensi dengan berbagai lembaga pemerintahan untuk mendorong pembaruan peraturan daerah tentang penanganan udara kotor yang telah berusia 20 tahun.
Baca juga: Kampanyekan Pengurangan Emisi, 3 Perempuan Bali Bersepeda ke Jakarta
Data periode 2021 hingga November 2024 menunjukkan Bicara Udara telah menjangkau 87.059 peserta langsung dengan total jangkauan digital mencapai 2,8 juta.
Rahayu memulai misi keberlanjutan melalui pendekatan yang unik. Dia mempelajari perilaku Owa Jawa untuk memahami lebih dalam tentang kepemimpinan dan suara dalam kelompok. Menurutnya, ada kemiripan menarik antara struktur sosial hewan langka tersebut dengan manusia.
“Owa Jawa betina menjadi yang dominan bersuara dalam keluarga. Ketika betina mengeluarkan nyanyiannya setiap pagi, ia sedang memberitahu keberadaan dan menandai wilayahnya,” demikian Rahayu menjelaskan.
Observasi tersebut menginspirasi Rahayu untuk mendengarkan suara-suara terabaikan di komunitas sekitar. Salah satunya di Kampung Cinta, perkampungan kecil yang dikelilingi hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat.
Baca juga: Perubahan Iklim, Perempuan Terpaksa Jadi Tulang Punggung Tanpa Jaminan Sosial
Para perempuan di kampung itu, lanjut Rahayu, umumnya ditempatkan dalam ranah domestik dengan ruang terbatas untuk berpartisipasi dalam keputusan publik. Padahal, mereka memiliki pengalaman hidup luar biasa dan resiliensi tinggi.
Lebih dari itu, mereka juga penjaga pengetahuan alam dan ingatan lokal berharga yang semakin hilang.
Salah satu penemuan penting, kata Rahayu, adalah pengetahuan perempuan tentang buah-buahan dan tumbuhan yang dulunya dimanfaatkan sebagai makanan, lalapan, obat tradisional, bahkan permainan masa kecil.
Pengetahuan tersebut berisiko hilang karena tidak ada lagi penerus yang mempelajarinya. Dari kesadaran tersebut, Rahayu bersama perempuan-perempuan di Kampung Cinta membentuk Ambu Halimun, kelompok pemberdayaan yang mengabadikan pengetahuan lokal.
Baca juga: Perempuan, Masyarakat Adat, dan Pemuda Jadi Bagian dari Iklim
"Ambu dalam bahasa Sunda artinya Ibu, dan Halimun adalah tempat gunung dan hutan tempat kampung ini berada," jelas Rahayu.
Melalui Ambu Halimun, para perempuan tersebut bekerja menggunakan pengetahuan tradisional untuk menciptakan produk, seperti kerajinan tangan, yang tidak hanya menjadi sumber penghasilan tetapi juga identitas dan kebanggaan komunitas lokal.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya