Ambu Halimun kini berhasil menjadi ruang aman bagi perempuan untuk tumbuh, mengembangkan kepercayaan diri, dan belajar keterampilan organisasi.
Namun, Rahayu menekankan, pencapaian Ambu Halimun bukan diukur dari angka, melainkan dari dampak nyata terhadap perubahan kehidupan. Salah satu anggota berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang yang lebih tinggi berkat pendapatan dari program ini.
Baca juga: Perempuan, Tambang, dan Masa Depan Berkelanjutan
"Pemberdayaan seharusnya membuka peluang dan menciptakan kemandirian, bukan menciptakan ketergantungan," tegas Rahayu.
Dalam kesempatannya, Yasmin menggugah peserta dengan kalimat pembuka, “Buat saya, aset paling berharga itu adalah sampah”. Ia mengisahkan perjalanan pribadi dari seorang sales promotion officer menjadi aktivis pengelolaan sampah di Surabaya.
“Dulu saya berpikir, urus sampah orang itu pekerjaan yang kotor. Namun, rupanya dari situlah hidup saya berubah,” katanya.
Titik balik Yasmin terjadi pada 2003. Saat itu, tempat pembuangan akhir sampah di Keputih, Surabaya, penuh dan ditutup. Akibatnya, jalan-jalan kota dipenuhi sampah. Kenyataan pahit ini menyadarkannya bahwa masalah sampah bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan tanggung jawab bersama.
Baca juga: Perempuan Berperan Penting saat Bencana, Butuh Kebijakan Berperspektif Gender
Melalui edukasi dan dukungan berbagai pihak, pada 2012, Yasmin akhirnya memutuskan untuk mendirikan Yayasan Lohjinawi. Lewat yayasan ini, Yasmin mengajarkan masyarakat sekitar bahwa sampah yang tadinya tidak bernilai dapat bernilai jika dikelola dengan baik.
Tujuan baik bukan berarti tanpa hambatan. Setelah mengumpulkan sampah dari masyarakat, tim Yasmin sempat bingung cara mengelola sampah tersebut karena belum memiliki pengguna akhir (off-taker) sampah.
Namun, melalui proses belajar berkelanjutan dan kerja keras, Lohjinawi berhasil menemukan berbagai off-taker sampah dari berbagai sektor industri untuk mendaur ulang dan memanfaatkan sampah.
Transformasi paling jelas terlihat dalam kisah Umi, salah satu kader terbaik Lohjinawi di Kota Surabaya.
Baca juga: Bagaimana Perempuan Memimpin Pengurangan Emisi Global?
Dulu, Umi tidak memiliki pekerjaan dan kondisi ekonomi keluarganya sangat sulit. Setelah belajar mengenai sampah dan menjalankan bisnis sampah, Umi berhasil merenovasi rumahnya, memperbaiki kamar mandi, dan bahkan mempekerjakan penyandang disabilitas.
Dalam 20 tahun beroperasi, Lohjinawi telah mendampingi 15 kota di Indonesia dan mengelola 5.000 bank sampah yang melayani 50.000 penerima manfaat dengan 9.000 kader. Organisasi ini memberikan edukasi kepada 20-30 orang per bulan tentang pengelolaan sampah yang baik dan berkelanjutan.
Meskipun Yasmin mengakui bahwa masalah sampah di Indonesia sangat besar, berat, dan rumit, ia yakin semuanya dapat diatasi melalui kolaborasi.
"Dengan kolaborasi yang kuat, tujuan akan bisa tercapai," tegasnya, mengajak berbagai pihak untuk bergabung dalam upaya mengubah sampah menjadi nilai tambah bagi masyarakat dan lingkungan.
Melalui perjalanan ketiga perempuan ini, Lestari Summit 2025 menyampaikan pesan yang jelas bahwa keberlanjutan lingkungan hanya dapat terwujud ketika suara perempuan didengarkan, potensi masyarakat diberdayakan, dan berbagai sektor bekerja bersama dengan komitmen yang sama untuk masa depan yang lebih baik.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya