KOMPAS.com – Bagi sebagian Gen Z, menjaga kesehatan mental di tengah kesibukan bukan hal yang mudah. Di balik rutinitas padat, target produktivitas, hingga kehidupan sosial yang serba cepat, sering kali mereka lupa untuk berhenti sejenak dan memberi waktu bagi diri sendiri.
Padahal, menurut psikolog klinis, Sarah Dian A, S.Psi., M.Psi., generasi ini sebenarnya sudah cukup sadar terhadap pentingnya menjaga keseimbangan mental. Hanya saja, kesadaran itu belum selalu diikuti dengan tindakan nyata.
“Gen Z tuh udah aware ya, tapi kadang lupa untuk meluangkan waktu,” ujarnya dalam acara Light+ by Wardah - Skin Comfort First, Heavy on Results, di Jakarta Selatan, Jumat (31/10/2025).
Baca juga: Manfaat Journaling untuk Gen Z Menurut Psikolog, Tak Cuma Redakan Stres
Langkah pertama yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan mental adalah dengan mengenali emosi.
Ketika sudah menyadari apa yang sedang dirasakan, seseorang bisa lebih memahami kebutuhan dirinya. Dari sana, seseorang jadi bisa tahu kapan harus berhenti sejenak untuk menenangkan diri sebelum kelelahan makin menumpuk.
“Jadi, kenalin dulu awareness-nya buat diri sendiri. Emosi ini tuh apa ya? Kenapa kita marah, sedih, atau lelah?” kata Sarah.
Baca juga: Gen Z Bosan dengan Adegan Seks di Film
Ilustrasi mengobrol.Menurut Sarah, seseorang perlu memberikan jeda dalam menjalani kehidupannya di era yang serba cepat ini. Sebab, kesehatan mental dapat berpengaruh pada kondisi fisik seseorang.
“Kita sempatkan ambil jeda. Misalnya, malam hari atau weekend . Biar mentalnya tetap terjaga karena sebenarnya mental berpengaruh ke fisik juga,” jelasnya.
Waktu jeda tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas sederhana yang membantu menenangkan pikiran, salah satunya dengan journaling atau menulis jurnal. Sarah menjelaskan, journaling bisa dilakukan kapan pun tanpa aturan waktu tertentu.
“Jadi, misalnya emosinya siang, nanti journaling-nya bisa malam, engga apa-apa. Engga ada waktu tertentu untuk journaling,” sebutnya.
Baca juga: Tiga Vitamin untuk Menjaga Kesehatan Mental, Menurut Psikiater
Sarah menegaskan, journaling dilakukan ketika seseorang merasa butuh ruang untuk mengurai perasaan, bukan karena paksaan. Dengan begitu, kegiatan ini bisa menjadi cara mudah untuk menenangkan diri saat sedang merasa penat.
“Mungkin banyak yang bilang klise ya, journaling apa sih, nulis-nulis doang. Tapi, journaling ini sebenarnya proses menulis secara reflektif untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan kita,” ungkap Sarah.
Kegiatan sederhana seperti menulis bisa menjadi ruang aman untuk memahami diri sendiri, terutama ketika emosi terasa menumpuk dan sulit dikendalikan. Sarah mengatakan, journaling tak hanya bermanfaat secara emosional, tetapi juga berdampak positif terhadap fungsi otak dan suasana hati.
“Faktanya, journaling 15-20 menit selama tiga sampai lima hari berturut-turut menunjukkan dampak positif pada mood dan fungsi kognitif kita. Lalu, journaling juga digunakan sebagai teknik dalam beberapa terapi psikologis,” terangnya.
Baca juga: Menangis Itu Melepaskan Tekanan Mental dan Menyehatkan
Selain membantu menenangkan pikiran, kebiasaan journaling juga bisa menjadi sarana untuk menumbuhkan pandangan positif terhadap diri sendiri. Ketika seseorang menuliskan hal-hal yang dirasakan atau disyukuri, ia secara tidak langsung belajar untuk lebih memahami dan menghargai dirinya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya