JAKARTA, KOMPAS.com – Sudah bayar premi mahal, tapi tetap harus "nombok" 10 persen dari biaya pengobatan? Inilah yang akan terjadi mulai 1 Januari 2026, ketika aturan baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal co-payment asuransi kesehatan mulai berlaku.
Lewat Surat Edaran OJK (SEOJK) tentang Produk Asuransi Kesehatan, peserta diwajibkan menanggung sebagian biaya pengobatan—minimal 10 persen—baik dalam skema asuransi dengan prinsip ganti rugi (indemnity) maupun yang berbasis pelayanan terkelola (managed care).
Aturan ini berlaku untuk produk individu maupun kumpulan, dan tidak memperbolehkan asuransi kesehatan tanpa co-payment.
OJK menyebut, tujuan pengaturan ini adalah untuk mencegah penggunaan layanan kesehatan yang berlebihan (overutilisasi), serta menjaga agar premi tetap ekonomis di tengah inflasi biaya medis yang terus meningkat.
Namun, di tengah semangat efisiensi ini, suara masyarakat mencerminkan keresahan...
Baca juga: Aturan Baru OJK, Peserta Asuransi Wajib Tanggung 10 Persen Klaim Biaya Berobat
Bagi Desi (35), pekerja swasta di Jakarta, aturan ini menimbulkan tanda tanya.
"Saya baru pindah ke asuransi tradisional dua bulan ini, setelah premi unitlink naik dari Rp 2,1 juta ke Rp 2,8 juta per bulan. Sekarang premi saya Rp 1,2 juta. Tapi dengan adanya aturan co-payment, saya masih menunggu penjelasan dari pihak asuransi," ujar Desi.
Menurutnya, premi yang ia bayarkan saat ini mencakup layanan cashless dan penggantian penuh sesuai tagihan.
"Kalau nanti saya harus bayar 10 persen, ya harus ada penyesuaian atau komunikasi jelas. Jangan tiba-tiba," imbuhnya.
Namun demikian, Desi mengakui asuransi swasta tetap penting, terutama saat anaknya sempat terkena demam berdarah dan membutuhkan perawatan segera. “Asuransi sangat membantu saat itu, apalagi kejadian hari Minggu,” katanya.
Baca juga: Peserta Asuransi Wajib Patungan Bayar Klaim Obat, Bikin Premi Jadi Lebih Murah?
Cerita berbeda datang dari Sulha (50), pimpinan perusahaan swasta di Jakarta. Ia sempat menggunakan produk asuransi swasta sejak 2005.
“Waktu anak saya kena usus buntu, klaim yang cair cuma separuhnya. Saya tetap harus bayar Rp 13,5 juta dari total biaya Rp 28,5 juta. Dari situ saya mulai ragu,” ujarnya.
Setelah kecewa dengan kenaikan premi dan manfaat yang tidak sesuai harapan, Sulha kini hanya mengandalkan BPJS Kesehatan.
"Harapan saya, pemerintah bisa membuat layanan BPJS di rumah sakit sebagus layanan swasta. Dan jangan naikkan premi asuransi seenaknya tanpa persetujuan nasabah," katanya.
Baca juga: Peserta Asuransi Wajib Tanggung 10 Persen Klaim Biaya, YLKI Minta OJK Kaji Ulang Aturannya
Sementara itu, Wiwin (35), agen asuransi di Jakarta, menilai ketentuan co-payment bukan sesuatu yang membebani jika dikomunikasikan dengan baik.
“Skema co-payment itu mirip seperti asuransi mobil, ada own risk. Tapi premi lebih terjangkau. Jadi fair-fair saja,” kata dia.
Menurut Wiwin, salah satu kendala terbesar adalah literasi keuangan masyarakat.
“Semua balik ke literasi sih. Kalau paham bahwa ini bentuk pembagian risiko dan bisa membuat premi lebih ringan, masyarakat akan lebih bisa menerima,” katanya.
OJK berharap aturan baru ini bisa mengendalikan lonjakan biaya medis dan membuat sistem asuransi lebih berkelanjutan. Namun suara publik menunjukkan perlunya sosialisasi yang lebih luas dan transparan agar masyarakat tak merasa dirugikan.
Baca juga: Skema Co-Payment Asuransi Kesehatan Diklaim Bisa Bikin Premi Turun
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.