DI PELUKAN laut biru nan agung, Raja Ampat di Papua Barat Daya, Indonesia, berdiri sebagai saksi bisu keajaiban alam, tempat terumbu karang berkilau bagai permata dan ribuan ikan menari dalam simfoni kehidupan.
Kepulauan ini, yang oleh dunia dijuluki "surga terakhir", adalah rumah bagi masyarakat adat yang menjaga harmoni dengan alam, menenun hidup dari laut dan hutan. Namun, di bawah kilau permukaan, nestapa merayap masuk.
Sejak 2017, di era pemerintahan Joko Widodo yang memuja emas nikel demi ambisi ekonomi, cakar-cakar pertambangan telah mencabik pulau-pulau kecil, meracuni karang, dan mencuri napas kehidupan.
Raja Ampat, warisan dunia yang seharusnya abadi, kini tercekik dalam pelukan ekstraksi yang rakus. Mengapa baru pada 2025 jeritan ini menggema, ketika izin-izin dosa telah diteken bertahun-tahun lalu?
Bagaimana pemerintah, yang bersumpah melindungi, justru membiarkan surga ini dipersembahkan di altar kepentingan sesaat?
Ini adalah kisah pengkhianatan, di mana keindahan Raja Ampat dikorbankan, dan suara alam serta adat tenggelam dalam deru mesin tambang.
Inti dari permasalahan ini sebenarnya terletak pada pemberian izin usaha pertambangan (IUP) nikel di sejumlah pulau kecil di Raja Ampat, seperti Pulau Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele.
Baca juga: Papua Bukan Tanah Kosong: Save Raja Ampat!
Jika kita merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas pertambangan di pulau kecil dilarang keras karena potensi kerusakan ekosistem yang tidak dapat dipulihkan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sejak 2017, di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang saat itu dipimpin oleh Ignasius Jonan, izin-izin ini tetap diterbitkan.
PT Gag Nikel, anak usaha BUMN PT Antam Tbk, menjadi salah satu pelaku utama dengan konsesi seluas 13.136 hektare di Pulau Gag, yang hampir mencakup seluruh daratan dan perairan pulau tersebut.
Perusahaan lain juga mendapatkan IUP di pulau-pulau lain, meskipun beberapa di antaranya tidak memiliki dokumen lingkungan yang memadai atau bahkan beroperasi di luar izin resmi.
Eksploitasi ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat signifikan. Greenpeace Indonesia melaporkan bahwa lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran telah dibabat.
Pengerukan tanah memicu erosi dan sedimentasi di pesisir, mengancam terumbu karang dan ekosistem laut yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal melalui pariwisata dan perikanan.
Aktivitas kapal tongkang pengangkut nikel juga memperparah kerusakan laut, sementara limbah tambang berpotensi mencemari perairan, merusak biota laut, dan menghilangkan mata pencaharian masyarakat adat.
Tragedi Raja Ampat bukan kasus terisolasi, melainkan cerminan dari kegagalan sistemik nasional dalam mengelola sumber daya alam. Di Sulawesi Tenggara, misalnya, tambang nikel di Pulau Kabaena dan Wawonii menunjukkan pola serupa.
Di Kabaena, operasi pertambangan telah menyebabkan deforestasi massal dan pencemaran sungai, merampas sumber air bersih masyarakat lokal.
Laporan masyarakat setempat menggambarkan bagaimana hutan adat dibabat habis, sementara keuntungan mengalir ke perusahaan besar dan investor asing, meninggalkan warga dengan laut tercemar dan konflik sosial.
Di Halmahera Tengah, Maluku Utara, kawasan operasi PT IWIP telah menciptakan krisis lingkungan serupa.
Baca juga: Raja Ampat: Surga Biodiversitas yang Diterpa Dilema Global
Warga Desa Gemaf dan Lelilef melaporkan pencemaran merkuri dan arsenik dari limbah tambang, yang meracuni ikan dan air, sumber utama kehidupan mereka.
Sama seperti di Raja Ampat, izin tambang di wilayah ini diterbitkan dengan pengawasan minim, dan masyarakat adat terpinggirkan, sementara keuntungan mengalir ke elite dan perusahaan asing.
Pola izin buram, pengawasan lelet, dan pengorbanan masyarakat lokal adalah dosa berulang yang mencabik Indonesia dari ujung timur hingga barat