JAKARTA, KOMPAS.com - Penyuluh literasi keuangan tidak melulu identik dengan orang-orang berjas dan berambut klimis memberikan seminar di hotel berbintang.
Bagi Novian Suhardi, memberikan penyuluhan literasi keuangan berarti perjalanan panjang mengarungi laut, menembus hutan, dan menapaki jalan terjal untuk bertemu warga di desa-desa terpencil.
"Bayangkan, ada desa yang harus kami capai dengan tiga kali ganti moda transportasi darat, laut, lalu udara menggunakan pesawat perintis. Bahkan ada yang harus ditempuh dengan perahu kecil melawan ombak besar. Tapi bagi kami, setiap kilometer perjalanan adalah investasi untuk masa depan masyarakat," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (14/8/2025) malam.
Sejak 2023, Novian selaku Kepala Bagian Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, Pelindungan Konsumen dan Layanan Manajemen Strategis OJK, telah melakukan penyuluhan literasi keuangan di Maluku.
Baca juga: Bank Mandiri Tingkatkan Literasi Keuangan lewat Simpanan Pelajar
Tujuannya jelas, meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pengelolaan keuangan yang sehat sekaligus memperluas akses layanan keuangan hingga ke wilayah Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal (3T) di Negeri Raja-Raja.
Penyuluhan literasi keuangan dilakukan melalui program Gerakan Nasional Cerdas Keuangan: Edukasi Keuangan pada Kecamatan, Kelurahan, dan Desa di Maluku (Gencarkan Edukasiku).
Melalui program ini, OJK menargetkan 118 kecamatan dan 1.235 desa di seluruh Maluku dengan bentang geografis berupa ribuan pulau dan masih banyak daerah yang belum terlayani lembaga keuangan.
Kendati demikian, Novian yakin kolaborasi antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga jasa keuangan (LJK) dapat menjadi kunci keberhasilan.
"Kami yakin, dengan kerja sama yang kuat antara OJK, pemerintah daerah, TPAKD, lembaga jasa keuangan, komunitas, dan seluruh pemangku kepentingan, akses keuangan yang merata akan terwujud," katanya.
Baca juga: Perempuan Desa Jadi Garda Depan Literasi Keuangan Keluarga
Selama melakukan penyuluhan di lapangan, Novian kerap menemukan kisah yang mencerminkan masih minimnya literasi keuangan di Indonesia, terutama Maluku.
Dia sering menemukan warga desa yang menghabiskan pendapatan dari hasil laut atau pertanian dalam kurun waktu seminggu. Hal ini dikarenakan mereka tidak melakukan pencatatan keuangan dan merencanakan keuangan untuk jangka panjang.
Dalam situasi darurat, sebagian warga bahkan terpaksa meminjam uang kepada rentenir atau menggunakan jasa keuangan ilegal dengan bunga mencekik, karena akses ke lembaga jasa keuangan formal nyaris tidak ada.
"Kami pernah bertemu seorang nelayan yang bertahun ketergantungan kepada rentenir, ada juga seorang ibu rumah tangga yang selama puluhan tahun mengelola uang keluarga hanya berdasarkan ingatan, tanpa pernah menulis pemasukan dan pengeluaran. Akhirnya, ia tak tahu ke mana uangnya pergi," ungkapnya.
Baca juga: Gaduh Rekening Dormant: Momentum Revolusi Literasi Keuangan
Dengan melihat kondisi di lapangan, Novian menjadi semakin yakin bahwa literasi keuangan bukan sekedar program di atas kertas, melainkan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Belum lagi dia dan kawan-kawan penyuluh harus menghadapi minimnya infrastruktur dan transportasi di daerah pelosok. Jaringan telekomunikasi yang sulit diakses juga membuat masyarakat di sejumlah desa tidak pernah merasakan layanan keuangan digital.
Belum lagi budaya memegang uang tunai di kalangan masyarakat pedesaan, turut menjadi hambatan yang perlu diatasi dengan pendekatan tepat dan berkelanjutan.
"Di sinilah kami merasa literasi keuangan bukan sekadar program, tetapi kebutuhan mendesak. Bukan hanya agar mereka mengenal produk keuangan formal, tetapi juga agar mereka bisa menjaga hasil kerja keras mereka dari habis begitu saja atau terjerat praktik keuangan ilegal," ucapnya.
Baca juga: Literasi Keuangan Syariah Masih Rendah, Bank dan Asuransi Turun Tangan Gelar Bancassurance Week 2025
Novian sebagai pegiat literasi keuangan tidak hanya menargetkan peningkatan jumlah peserta yang ikut penyuluhan, tetapi juga mendorong agar mereka merubah perilakunya dalam hal keuangan.
Untuk itu dalam melakukan penyuluhan, keberhasilan program diukur dari semakin banyaknya warga yang mengakses lembaga keuangan formal, memanfaatkan produk keuangan dengan bijak, dan mengembangkan usaha secara berkelanjutan.
"Harapannya, program literasi keuangan di Maluku dapat terus diperluas sehingga masyarakat, khususnya di wilayah 3T, mampu mengelola keuangan secara mandiri dan terhindar dari praktik keuangan yang merugikan," tuturnya.
Perlu diingat pula, kondisi ini tidak hanya terjadi di Maluku tetapi terjadi juga di banyak daerah di pelosok Indonesia.
Baca juga: OJK Targetkan Indeks Literasi Keuangan Naik 1 Persen Per Tahun
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya