THOMAS Sowell pernah menulis ungkapan yang tampak sederhana, tetapi sangat tajam: "The first lesson of economics is scarcity: There is never enough of anything to satisfy all those who want it. The first lesson of politics is to disregard the first lesson of economics."
Kalimat ini seperti tamparan keras bagi setiap pengambil kebijakan, mengingatkan bahwa ekonomi bergerak dalam batas kelangkaan, sementara politik kerap menjanjikan dunia tanpa keterbatasan.
Ungkapan Sowell kini menemukan relevansinya dalam wacana terbaru pemerintahan Prabowo Subianto yang berambisi mewujudkan defisit APBN 0 persen pada 2027 atau 2028.
Bagi publik, janji zero deficit terdengar sebagai kabar gembira. Siapa yang tak ingin melihat Indonesia berdiri tegak tanpa beban utang baru?
Namun, para ekonom justru menyambut rencana ini dengan rasa was-was. Mereka melihat ambisi tersebut bukan hanya sulit dicapai, tetapi juga berpotensi menimbulkan pengorbanan yang besar: pengurangan belanja sosial, pemangkasan investasi publik, bahkan bergantung pada instrumen seperti Badan Pengelola Investasi (Danantara) yang kinerjanya belum teruji.
Baca juga: Prabowo Hapus Tantiem Rp 40 M Komisaris BUMN, tapi Pertahankan Rangkap Jabatan
Di sinilah peringatan Sowell kembali menggema: ketika politik mencoba mengabaikan hukum kelangkaan, rakyatlah yang bisa menjadi korban.
Ekonomi selalu bergulat dengan kelangkaan. Dalam APBN, pemerintah harus membagi sumber daya yang terbatas antara belanja pegawai, subsidi energi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pembayaran bunga utang.
Masing-masing sektor menuntut prioritas, dan tidak ada cara untuk memuaskan semuanya sekaligus.
Oleh karena itu, dalam kerangka fiskal modern, defisit justru menjadi instrumen penting. Selama berada dalam batas aman—misalnya di bawah 3 persen dari PDB sesuai Undang-Undang—defisit memungkinkan negara untuk tetap berinvestasi di sektor-sektor strategis.
Namun, ambisi untuk meniadakan defisit sama sekali mengandung konsekuensi besar. Ketika Prabowo menargetkan defisit nol, ia secara implisit mengabaikan kenyataan kelangkaan ini.
Para ekonom menilai defisit 2 persen masih sehat, bahkan ideal, karena memberi ruang fiskal tanpa membebani generasi mendatang. Sebaliknya, target 0 persen justru bisa memaksa pemerintah melakukan penghematan berlebihan.
Alih-alih memperkuat pembangunan, APBN bisa berubah menjadi instrumen pengetatan yang menghambat pertumbuhan dan memperlebar ketimpangan sosial.
Dengan kata lain, janji zero deficit terdengar manis di telinga politik, tetapi pahit dalam hitungan ekonomi.
Pemaksaan kebijakan semacam ini justru mengabaikan fungsi APBN sebagai alat untuk menjaga keseimbangan sosial-ekonomi, dan bukan sekadar neraca yang harus disulap tanpa defisit.
Baca juga: Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik
Salah satu pilar yang digadang untuk menopang ambisi defisit nol adalah kontribusi besar dari Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Pemerintah berharap lembaga ini mampu menyumbangkan hingga Rp 700 triliun ke kas negara.
Klaim ini menimbulkan keraguan luas. Ekonom dari CSIS menilai sebagian besar aset Danantara adalah dana pihak ketiga, yang tidak likuid dan tidak sepenuhnya produktif.
Lebih jauh, ekonom Indef menegaskan bahwa ekspektasi tersebut "tidak realistis". Pengalaman internasional menunjukkan, sovereign wealth fund di negara manapun membutuhkan waktu panjang untuk menghasilkan imbal hasil signifikan.
Dengan kata lain, menjadikan Danantara sebagai penopang utama target fiskal sama saja dengan menaruh beban yang belum semestinya pada lembaga baru yang masih mencari bentuk.
Jika ambisi politik lebih diutamakan, Danantara bisa menjadi tumbal: dipaksa bekerja melampaui kapasitas wajar demi menambal APBN.
Risiko ini berbahaya, karena bukan hanya menekan kinerja lembaga itu, tetapi juga dapat menurunkan kepercayaan investor.
Pada akhirnya, publik harus bertanya: apakah wajar membebankan mimpi defisit nol kepada instrumen yang belum matang? Politik boleh saja membangun narasi, tetapi ekonomi menuntut realisme.
Target defisit nol jelas mengandung daya tarik populis. Ia mudah dijual sebagai simbol kemandirian dan disiplin fiskal, seolah Indonesia akan keluar dari "bayang-bayang utang".
Namun, sejarah mengajarkan bahwa kebijakan makroekonomi yang didorong populisme sering berakhir dengan krisis.
Populisme kerap mengabaikan fakta bahwa negara berkembang seperti Indonesia masih membutuhkan belanja sosial dan investasi jangka panjang.
Menekan defisit ke nol tanpa strategi reformasi struktural hanya akan mengorbankan kesejahteraan rakyat dan menutup ruang bagi pembangunan inklusif.
Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah kehati-hatian fiskal: menjaga defisit pada level aman, memperluas basis pajak, mengefisienkan belanja, dan memastikan pengelolaan utang tetap terkendali.
Baca juga: Ekonomi Tumbuh 5 Persen, tapi Gaji Naik Kurang dari 2 Persen
Inilah kebijakan yang selaras dengan pelajaran pertama ekonomi: mengakui kelangkaan, lalu mengatur prioritas dengan cermat.
Politik seharusnya tidak menafikan realitas ini, melainkan mendidik publik bahwa pertumbuhan dan kesejahteraan memerlukan keseimbangan, bukan ilusi tanpa defisit.
Ungkapan Sowell membuka mata kita bahwa perbedaan mendasar antara ekonomi dan politik terletak pada sikap terhadap kenyataan.
Ekonomi menerima kelangkaan sebagai hukum alam, sementara politik kerap menawarkannya untuk dihapuskan.
Dalam kasus ambisi defisit nol Prabowo, kita melihat bagaimana politik mencoba mengabaikan pelajaran ekonomi, dengan resiko yang bisa menimpa rakyat.
Oleh karena itu, yang lebih dibutuhkan Indonesia bukanlah retorika zero deficit, melainkan kebijakan fiskal yang realistis, hati-hati, dan berpihak pada pembangunan jangka panjang.
Hanya dengan itu, kita bisa memastikan bahwa cita-cita kemandirian fiskal tidak berubah menjadi jebakan populisme.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini