JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pangan Nasional (Bapanas) merespon fenomena yang membingungkan publik: di tengah klaim stok beras yang cukup, bahkan surplus, harga di pasar justru terus melambung tinggi.
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilitas Pangan Bapanas, I Gusti Ketut Astawa, mengatakan akar masalahnya terletak pada pola perdagangan gabah dan perilaku pasar.
Ia mencatat harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sangat bervariasi, tergantung wilayah dan kondisi panen. Ada petani yang menjual GKP di harga Rp 6.000 per kilogram (kg), sebagian di Rp angka 6.500, bahkan hingga Rp 7.000.
“(Anomali produksi beras dan harga, ini akar masalah apa?) Itu yang saya bilang tadi, teman-teman ini kan sudah ada variatif nih mendapatkan GKP. ada yang mendapatkan, sebelum dipaksa Rp 6.500 ada yang mendapatkan Rp 6.000, kemudian ada yang mendapatkan Rp 6.500, ada yang mendapatkan Rp 6.700, ada yang Rp 7.000,” ujar Ketut saat ditemui di gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (26/8/2025).
Baca juga: Stok Beras Bulog 3,9 Juta Ton Hingga Agustus, SPHP Baru Tersalur 5,35 Persen
Fenomena tersebut yang menjelaskan mengapa harga beras di pasar tetap tinggi, meskipun pemerintah berkali-kali menyatakan stok cukup dan aman.
“Nah pola perdagangan itu kan isu paling pertama, sangat berpengaruh,” paparnya.
Para pedagang, lanjut Ketut, cenderung mengikuti harga tertinggi di pasar ketimbang menjual dengan margin tipis. Situasi itu memperkuat tren kenaikan harga, sehingga masyarakat tetap sulit mengakses beras dengan harga terjangkau.
“Katakanlah saya mendapatkan GKP Rp 7.000, kemudian otomatis apakah saya jual dengan harga yang rendah? kan gak mungkin, isunya akan menyebar, walaupun teman-teman mendapatkan Rp 6.800, saya akan ikut yang Rp 7.000 itulah trendnya,” bebernya.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, pemerintah mengandalkan intervensi melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Namun, penjelasan ini masih menyisakan kritik. Ombudsman RI sebelumnya menyoroti adanya paradoks: data produksi dan ketersediaan beras menunjukkan surplus, tetapi fakta di lapangan justru harga terus melambung.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menuturkan hasil inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan di Karawang beberapa waktu lalu. Ia menemukan harga gabah di tingkat petani sudah berada di level tinggi, yaitu antara Rp 7.400 - Rp 8.400 per kg.
Saat berbincang dengan petani, Yeka mendapati kenyataan bahwa harga gabah yang tinggi belum tentu mensejahterakan. Banyak petani justru mengeluh karena pendapatannya tergerus akibat gagal panen berulang kali, biaya produksi yang tinggi, serta hutang yang menumpuk.
“Jadi intinya ternyata kalau di petan itu harga itu bukan hanya cerminan, jadi harga yang bagus belum tentu pendapatan mereka itu bagus, belum tentu sejahtera, ada kegagalan, ada yang ngatain kami tiga musim berturut-turut mengalami kegagalan, ada yang lima musim kegagalan, tapi ada juga yang tidak gagal juga gitu ya. jadi beragam di lapangan itu gitu ya,” ungkap Yeka.
Baca juga: HET Beras Baru: Warga Maluku dan Papua Bayar Paling Mahal di Indonesia