Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Nur Rianto
Dosen dan Peneliti

Al Arif merupakan dosen dan peneliti di UIN Syarif Hidayatullah dan CSEAS Indonesia

Rojali, Rohana, Rohalus: Daya Beli Melemah atau Gaya Belanja Berubah?

Kompas.com - 28/08/2025, 17:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELAKANGAN ini, media sosial ramai dengan istilah baru yang menggelitik, yaitu rojali, rohana, dan rohalus.

Bagi yang belum familiar, tiga istilah ini bukan nama tokoh dalam sinetron, melainkan akronim populer yang menggambarkan perilaku belanja masyarakat di pusat perbelanjaan.

Rojali berarti “rombongan jarang beli”, rohana adalah “rombongan hanya nanya”, sementara rohalus merujuk pada “rombongan hanya lihat-lihat”.

Fenomena ini mulai viral karena banyak pengunjung mal terlihat hanya berjalan-jalan, mampir ke toko, bahkan mencoba barang, tetapi akhirnya tidak melakukan transaksi.

Bagi sebagian orang, fenomena ini dianggap sekadar guyonan di tengah kondisi ekonomi. Namun bagi pengamat ekonomi, istilah ini bisa menjadi jendela untuk membaca lebih jauh dinamika konsumsi rumah tangga Indonesia, yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi.

Pertanyaan kuncinya apakah maraknya rojali, rohana, dan rohalus mencerminkan pelemahan daya beli masyarakat, atau justru menandakan adanya perubahan gaya belanja di era digital?

Fenomena rojali dan kawan-kawannya tidak muncul tiba-tiba. Fenomena ini lahir dari realitas sehari-hari yang dialami masyarakat urban.

Mal masih ramai dikunjungi, parkiran penuh, kafe dan resto tidak pernah sepi, tapi transaksi belanja di dalam toko justru stagnan. Konsumen banyak yang datang sekadar untuk berjalan-jalan, melepas penat, atau “window shopping” tanpa berujung pembelian.

Di sisi lain, perilaku serupa juga tampak di dunia digital. Banyak pengguna e-commerce yang rajin menaruh barang di keranjang belanja, rajin bertanya pada penjual lewat fitur chat, bahkan menonton live shopping berjam-jam, tetapi pada akhirnya menutup aplikasi tanpa check out.

Baca juga: Daya Beli Melemah: Saatnya Pajak Pro-Kelas Menengah

Viralnya istilah rojali, rohana, dan rohalus sesungguhnya adalah potret perubahan budaya konsumsi yang semakin kompleks. Ia tidak bisa dijawab hanya dengan “daya beli lemah” atau “masyarakat malas belanja”.

Justru, kita perlu menimbang faktor ekonomi makro, tren digitalisasi, hingga perubahan perilaku generasi muda.

Melihat data, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga masih menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kontribusi yang diberikan mencapai 54,25 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II 2025. Meskipun laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga sedikit melambat dibanding tahun sebelumnya.

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia pada Juni 2025, memang masih berada di level optimistis, sekitar 117,8 poin lebih tinggi dibandingkan dengan indeks pada bulan sebelumnya sebesar 117,5.

Inflasi tahunan relatif terkendali, tapi inflasi pangan bergejolak (volatile food) masih menekan masyarakat kelas menengah bawah. Harga beras, cabai, dan daging ayam tercatat naik dalam beberapa bulan terakhir, sehingga menggerus alokasi belanja non-esensial.

Di sisi lain, beban cicilan rumah tangga juga meningkat. Rasio kredit konsumsi, termasuk paylater, tumbuh lebih cepat dibanding tabungan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa ada tekanan likuiditas, yaitu masyarakat masih ingin belanja, tetapi tertahan oleh prioritas kebutuhan pokok dan kewajiban finansial.

Dalam kondisi ini, perilaku “jalan-jalan tapi tidak beli” bisa dibaca sebagai strategi adaptif, yaitu masyarakat mencari hiburan murah tanpa harus mengeluarkan banyak uang.

Di satu sisi, rojali, rohana, dan rohalus bisa dibaca sebagai gejala pelemahan daya beli. Sebab, masyarakat tetap punya keinginan konsumsi, terbukti dari ramainya mal dan toko, tetapi kemampuan riil mereka menurun.

Hal ini sesuai teori demonstration effect, yaitu orang tetap ingin tampil konsumtif di ruang publik, meski kemampuan belanjanya terbatas.

Namun di sisi lain, terlalu sederhana jika fenomena ini hanya disimpulkan sebagai tanda krisis. Sebab, belanja masyarakat Indonesia tidak serta-merta hilang, melainkan bergeser kanal.

Bank Indonesia mencatat transaksi pada platform e-commerce mengalami pertumbuhan dengan nilai mencapai Rp 44,4 triliun atau tumbuh 2,32 persen (y-o-y) pada Juli 2025.

Banyak transaksi yang dulu terjadi di toko fisik kini pindah ke online, karena harga lebih kompetitif, adanya promo, dan kemudahan pengiriman.

Dengan kata lain, rojali di mal bisa jadi justru rajin beli di marketplace. Fenomena ini menunjukkan pergeseran pola konsumsi, yaitu masyarakat semakin selektif, membandingkan harga, mencari diskon, dan tidak lagi impulsif membeli barang hanya karena melihatnya di etalase.

Baca juga: Sindemik Kemiskinan: Nyawa Anak yang Hilang di Sukabumi

Jika kita menilik perilaku konsumen beberapa tahun terakhir, ada satu benang merah yang tak bisa diabaikan, yaitu transformasi digital telah mengubah wajah konsumsi di Indonesia.

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2025 menunjukkan bahwa jumlah pengguna internet Indonesia telah menembus 229,4 juta orang, atau lebih dari 80 persen populasi.

Dari jumlah itu, sebagian besar menggunakan internet untuk aktivitas belanja daring, baik melalui aplikasi e-commerce, media sosial, maupun live shopping.

Data Bank Indonesia juga mengonfirmasi tren serupa. Berdasarkan data terbaru Bank Indonesia, Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) berhasil membukukan 6,05 miliar transaksi dengan total nilai mencapai Rp 579 triliun.

Transaksi melalui QRIS juga semakin dominan, melibatkan jutaan merchant kecil di seluruh pelosok Indonesia. Dengan kata lain, meskipun pusat perbelanjaan masih ramai, pusat aktivitas ekonomi kini bergeser ke layar gawai di tangan konsumen.

Pergeseran ini membawa implikasi bahwa konsumen lebih cenderung membandingkan harga secara digital sebelum membeli.

Mal tidak lagi menjadi satu-satunya tempat untuk “menemukan barang baru”. Justru, ia berfungsi sebagai ruang pamer, tempat masyarakat melihat langsung produk, mencoba, lalu membeli secara online dengan harga lebih murah. Inilah yang sering disebut sebagai fenomena showrooming.

Tidak heran bila kita sering menemukan pengunjung mal yang tampak serius memotret kode produk, membandingkan di marketplace, dan akhirnya tidak melakukan transaksi di toko fisik.

Maka, rohalus bukan semata tanda kantong kering, melainkan strategi rasional konsumen di era digital.

Fenomena rojali, rohana, rohalus juga tidak bisa dilepaskan dari pergeseran nilai konsumsi generasi muda, terutama Gen Z dan Milenial.

Saat ini lebih dari 60 persen Gen Z Indonesia lebih memilih membelanjakan uangnya untuk pengalaman ketimbang barang. Pergi ke kafe estetik, konser musik, atau sekadar nongkrong di mal sering dianggap lebih bermakna ketimbang membeli produk fashion atau gawai baru.

Hal ini menjelaskan mengapa food and beverage (F&B) menjadi salah satu sektor yang justru tumbuh pesat di mal, meskipun toko pakaian atau barang mewah mengalami stagnasi.

Bagi anak muda, nongkrong di kafe sambil membeli minuman kekinian seharga Rp 30.000–50.000 lebih bernilai sosial dibanding membeli kemeja Rp 300.000. Mal menjadi ruang sosial, bukan lagi ruang transaksi belaka.

Selain itu, generasi muda juga jauh lebih sadar harga. Dengan akses mudah ke berbagai platform belanja online, mereka terbiasa menjadi smart consumer, yaitu menunggu promo, memanfaatkan voucher, hingga menggunakan paylater.

Baca juga: Rent-Seeking Behaviour: Ketika Negara Sibuk Memungut, Lupa Menumbuhkan

Akibatnya, mereka tidak mudah tergoda untuk langsung membeli barang di toko fisik, apalagi jika tahu bisa mendapat harga lebih murah secara daring.

Fenomena ini tentu membawa konsekuensi serius bagi pelaku ritel. Mal tetap ramai, tetapi omzet toko tidak selalu ikut naik.

Sebagian tenant fashion, elektronik, dan aksesori melaporkan stagnasi penjualan, meski arus pengunjung tinggi. Tidak sedikit pula yang akhirnya memilih mengurangi ukuran toko fisik, mengganti strategi ke omnichannel — gabungan antara kehadiran offline dan online.

Bagi UMKM, pergeseran ini menghadirkan dua wajah. Di satu sisi, mereka semakin sulit bersaing dengan harga toko daring yang sering didukung promo besar-besaran dari platform e-commerce

Namun di sisi lain, digitalisasi justru membuka peluang bagi UMKM untuk memperluas pasar tanpa harus bergantung pada lokasi fisik.

Pemerintah telah mendorong program digitalisasi UMKM, dengan target 50 juta UMKM onboarding ke e-commerce pada 2025. Namun, tantangan berikutnya adalah bagaimana UMKM tidak hanya hadir, tetapi juga mampu bersaing secara sehat di ekosistem online.

Belanja, bagi banyak orang, bukan hanya soal kebutuhan, tetapi juga hiburan dan aspirasi. Mal menjadi ruang publik modern yang memberi kesempatan untuk merasakan atmosfer kelas menengah, bahkan bagi mereka yang tidak melakukan transaksi.

Dengan berjalan-jalan di mal, mencoba barang, atau sekadar berfoto di depan etalase, konsumen mendapatkan kepuasan psikologis tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.

Fenomena ini diperkuat oleh budaya media sosial. Tidak sedikit orang yang datang ke mal lebih untuk konten ketimbang belanja. Selfie di depan toko mewah, mengunggah story dari kafe populer, atau sekadar menunjukkan suasana mal baru menjadi bagian dari gaya hidup digital.

Maka, rojali bisa dibaca sebagai strategi masyarakat kelas menengah bawah untuk tetap merasa bagian dari arus gaya hidup urban tanpa harus menguras dompet.

Pertanyaan besar yang kemudian muncul, apakah maraknya rojali, rohana, dan rohalus menandakan krisis konsumsi, atau sekadar adaptasi gaya belanja?

Jawabannya mungkin ada di tengah. Memang benar ada tekanan daya beli, terutama pada kelas menengah bawah yang terhimpit inflasi pangan dan cicilan. Namun di saat bersamaan, konsumsi masyarakat tidak lenyap, hanya bergeser kanal dan prioritas.

Baca juga: Simbol Agama dan Rompi Oranye

Jika ini dibaca sebagai alarm krisis, pemerintah perlu merespons dengan kebijakan peningkatan daya beli — mulai dari menjaga stabilitas harga pangan, memperluas bantuan sosial yang tepat sasaran, hingga menstimulasi penciptaan lapangan kerja.

Namun jika ini dilihat sebagai adaptasi sehat, maka tantangannya adalah bagaimana pelaku ritel dan UMKM bisa menyesuaikan strategi agar relevan dengan perilaku konsumen digital.

Fenomena ini juga tidak bisa dipandang remeh dari sisi makroekonomi. Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh PDB Indonesia. Jika masyarakat hanya “lihat-lihat” tanpa belanja, pertumbuhan ekonomi bisa melambat.

Namun, data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 masih berada di kisaran 5,12 persen.

Kondisi ini menunjukkan bahwa belanja tetap terjadi, tetapi distribusinya berubah. Penjualan e-commerce, F&B, dan jasa hiburan meningkat, sementara ritel barang konsumsi non-esensial stagnan. Ini perlu diantisipasi agar ketimpangan sektor tidak melebar.

Selain itu, ada risiko lain, yaitu jika konsumen terlalu mengandalkan paylater atau cicilan digital, stabilitas keuangan rumah tangga bisa terganggu.

Data menunjukkan bahwa utang masyarakat Indonesia di layanan paylater menyentuh nominal Rp 29,59 triliun per April 2025. Namun, kredit macet paylater dilaporkan naik dari 3,48 persen menjadi 3,78 persen.

Sementara itu, utang pinjol mencapai Rp 80,94 triliun, naik 29,01 persen secara tahunan, tingkat kredit macet pinjol juga naik dari 2,77 persen menjadi 2,93 persen.

Jika tidak dikelola, maka kondisi ini bisa menjadi bom waktu yang berdampak pada kesehatan sistem keuangan nasional.

Terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah terkait fenomena ini. Pertama, pemerintah harus menjaga stabilitas harga pangan.

Inflasi pangan sangat menentukan daya beli kelas bawah, menjaga pasokan beras, daging, dan sayuran menjadi prioritas. Intervensi logistik dan penguatan cadangan pangan strategis sangat krusial.

Kedua, pemerintah perlu mendorong kenaikan pendapatan riil. Pemerintah harus mengupayakan penciptaan lapangan kerja berkualitas, kenaikan upah minimum yang seimbang, serta pemberdayaan UMKM bisa meningkatkan daya beli.

Ketiga, pemerintah perlu mendukung ekosistem ritel hybrid. Mal dan ritel fisik tidak bisa diabaikan. Pemerintah bisa mendorong model omnichannel, misalnya dengan memberikan insentif digitalisasi bagi tenant mal atau subsidi logistik bagi UMKM yang masuk e-commerce.

Terakhir ialah edukasi keuangan digital. Edukasi ini penting agar masyarakat tidak terjebak utang konsumtif, literasi keuangan digital harus diperkuat. Edukasi mengenai penggunaan paylater yang sehat penting untuk mencegah risiko ke depan.

Bagi masyarakat, fenomena rojali dan kawan-kawannya bisa jadi momentum untuk lebih bijak. Alih-alih sekadar jalan-jalan tanpa belanja atau tergoda promo online, konsumen perlu menata ulang prioritas keuangan.

Hidup hemat bukan berarti anti-konsumsi, melainkan mengarahkan konsumsi ke hal-hal yang produktif.

Generasi muda bisa mulai mempraktikkan conscious consumption: membeli barang yang benar-benar dibutuhkan, mendukung produk lokal, dan mengurangi perilaku impulsif.

Selain itu, penting untuk menyeimbangkan pengeluaran antara kebutuhan pokok, gaya hidup, dan tabungan masa depan.

Fenomena rojali, rohana, dan rohalus memang menggelitik. Namun, di balik guyonan itu tersimpan pesan serius tentang arah konsumsi masyarakat kita.

Fenomena ini adalah cermin dari tekanan daya beli sekaligus tanda perubahan perilaku belanja. Masyarakat tidak berhenti konsumtif, melainkan semakin selektif, digital, dan berorientasi pada pengalaman.

Bagi pemerintah, fenomena ini adalah alarm untuk terus menjaga stabilitas daya beli. Bagi pelaku ritel, ini peringatan untuk tidak berpuas diri dengan ramainya mal, karena transaksi nyata bisa saja berpindah ke dunia digital.

Dan bagi masyarakat, ini momentum untuk belajar menjadi konsumen yang lebih cerdas, hemat, dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, apakah rojali, rohana, rohalus tanda krisis atau adaptasi? Mungkin keduanya. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kita merespons.

Jika responsnya tepat, maka fenomena ini bukanlah gejala melemahnya ekonomi, melainkan bukti bahwa masyarakat Indonesia semakin matang dan rasional dalam belanja.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Terkini Lainnya
Balikkan Rugi, Emiten Emas ARCI Cetak Laba Bersih 71 Juta Dollar AS
Balikkan Rugi, Emiten Emas ARCI Cetak Laba Bersih 71 Juta Dollar AS
Cuan
Danantara Mulai Tender Proyek Sampah Jadi Listrik (WTE) 6 November
Danantara Mulai Tender Proyek Sampah Jadi Listrik (WTE) 6 November
Energi
Laba Bersih DATA  Naik 24 Persen pada Kuartal III 2025, Ditopang Ekspansi Jaringan FTTH
Laba Bersih DATA Naik 24 Persen pada Kuartal III 2025, Ditopang Ekspansi Jaringan FTTH
Cuan
Gandeng S&P Dow Jones Indices, BEI Luncurkan Tiga Indeks Saham Co-Branded
Gandeng S&P Dow Jones Indices, BEI Luncurkan Tiga Indeks Saham Co-Branded
Cuan
Setahun Prabowo-Gibran, BTN (BBTN) Akselerasi Program Tiga Juta Rumah
Setahun Prabowo-Gibran, BTN (BBTN) Akselerasi Program Tiga Juta Rumah
Keuangan
Jaga Stabilitas dan Dorong Ekonomi, BI Longgarkan Kebijakan Moneter
Jaga Stabilitas dan Dorong Ekonomi, BI Longgarkan Kebijakan Moneter
Keuangan
Produksi Beras Naik, Mentan: Insya Allah Tahun Ini Tak Ada Impor
Produksi Beras Naik, Mentan: Insya Allah Tahun Ini Tak Ada Impor
Ekbis
4 Kriteria Penerima Pemutihan Tunggakan BPJS Kesehatan
4 Kriteria Penerima Pemutihan Tunggakan BPJS Kesehatan
Ekbis
Menhub Lantik Teuku Faisal Fathani Jadi Kepala BMKG, Dorong Sinergi Transportasi dan Informasi Cuaca Nasional
Menhub Lantik Teuku Faisal Fathani Jadi Kepala BMKG, Dorong Sinergi Transportasi dan Informasi Cuaca Nasional
Ekbis
Apa Itu ETF Emas dan Manfaatnya untuk Investor?
Apa Itu ETF Emas dan Manfaatnya untuk Investor?
Cuan
KKSK: Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia Terjaga
KKSK: Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia Terjaga
Ekbis
Lippo Karawaci Kantongi Pendapatan Rp 6,51 Triliun, Laba Bersih Tembus Rp 368 Miliar
Lippo Karawaci Kantongi Pendapatan Rp 6,51 Triliun, Laba Bersih Tembus Rp 368 Miliar
Cuan
IHSG Ditutup Melonjak 1,36 Persen pada 8.275, Cetak Rekor Tertinggi Sepanjang Sejarah Lagi
IHSG Ditutup Melonjak 1,36 Persen pada 8.275, Cetak Rekor Tertinggi Sepanjang Sejarah Lagi
Cuan
Perkuat Keamanan Logistik Nasional, IPC TPK Operasikan Alat Pemindai Peti Kemas di Tanjung Priok
Perkuat Keamanan Logistik Nasional, IPC TPK Operasikan Alat Pemindai Peti Kemas di Tanjung Priok
Industri
Inflasi Telur dan Daging Ayam Ras Melonjak, BPS Sebut Karena Permintaan Tinggi untuk Program MBG
Inflasi Telur dan Daging Ayam Ras Melonjak, BPS Sebut Karena Permintaan Tinggi untuk Program MBG
Ekbis
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau