JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yang sepakat melakukan burden sharing atau pembagian beban pembiayaan untuk mendukung program pemerintah menuai kritik dari ekonom.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai langkah tersebut berpotensi melunturkan independensi BI sebagai bank sentral.
Menurut Huda, BI seharusnya fokus menjaga stabilitas moneter, bukan menjadi penanggung risiko pembiayaan program pemerintah yang memiliki potensi kerugian besar.
"Kebijakan ini kebijakan yang melunturkan independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral yang seharusnya menjaga kebijakan moneter kita," ujarnya kepada Kompas.com, dikutip Jumat (5/9/2025).
Baca juga: BI Setuju Burden Sharing Biayai Program Asta Cita Prabowo, Begini Mekanismenya
Huda menjelaskan, burden sharing seharusnya hanya dilakukan pada kondisi darurat, seperti saat pandemi Covid-19.
Ketika itu, pemerintah menghadapi keterbatasan anggaran untuk mengatasi dampak pandemi, sehingga diperlukan kerja sama dengan BI.
Namun, menurutnya, kondisi saat ini berbeda. Aktivitas ekonomi nasional telah pulih, sektor swasta masih bergerak, dan pemerintah memiliki ruang kebijakan fiskal untuk membiayai program-programnya.
Terlebih, program pemerintah yang akan ikut ditanggung bebannya oleh BI ialah program yang potensi kerugiannya sangat besar.
Sebagai informasi, program prioritas pemerintah yang telah disepakati untuk dilakukan burden sharing ialah Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP) dan perumahan kerakyatan.
"Pemerintah sebenarnya tahu bahwa program KDMP dan perumahan ini risikonya tinggi, jadi meminta BI menanggung risikonya," ucapnya.
Jika program dengan risiko tinggi ini terus dibiayai, Huda khawatir beban bunga akan meningkat signifikan dan kapasitas fiskal pemerintah untuk membuat kebijakan ekonomi pro-rakyat akan semakin sempit.
Sementara itu, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana mengatakan, kebijakan burden sharing saat ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023.
Dalam aturan tersebut secara jelas menyebutkan bahwa BI hanya berhak membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder ketika kondisi krisis, dan keputusan itu harus ditetapkan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
"Jadi apakah sebenarnya saat ini pemerintah dan BI mengakui bahwa kondisi keuangan negara saat ini sedang krisis? Sementara seluruh stakeholder negara selalu mengatakan bahwa kondisi stabilitas keuangan kita masih tangguh," kata Andri dalam keterangannya kepada media.
Menurutnya, BI sebagai bank sentral memiliki mandat untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di atas kepentingan pemerintah.