KOMPAS.com - Ekspor China ke Amerika Serikat (AS) turun tajam sebesar 33 persen pada Agustus 2025, di tengah melambatnya pertumbuhan perdagangan luar negeri Negeri Tirai Bambu.
Dikutip dari CNBC, Senin (8/9/2025), secara keseluruhan, ekspor China hanya naik 4,4 persen dibanding periode sama tahun lalu, level terendah sejak Februari.
Sementara itu, impor China juga tercatat tumbuh tipis 1,3 persen pada Agustus. Angka ini lebih rendah dibanding proyeksi ekonom dalam survei Reuters yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 3 persen.
Baca juga: Pemerintah Tawarkan Proyek Giant Sea Wall ke China, Jepang, hingga Eropa
Meski mengalami penurunan tajam, AS masih menjadi pasar terbesar bagi produk China berdasarkan negara tujuan tunggal.
Hingga Agustus 2025, nilai ekspor China ke AS tercatat 283 miliar dollar AS. Sementara itu, ekspor ke Uni Eropa lebih tinggi secara agregat, mencapai 541 miliar dollar AS.
Namun, kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump, termasuk pengenaan tarif tinggi dan pengawasan ketat terhadap praktik transshipment (pengalihan jalur ekspor melalui negara ketiga), menekan kinerja ekspor China.
Washington telah memberlakukan tarif hingga 40 persen bagi pengiriman yang dianggap sebagai transshipment.
Baca juga: 5 Negara Tujuan Ekspor Indonesia hingga Juli 2025, China Nomor 1
China dan AS sebelumnya sepakat memperpanjang gencatan tarif selama 90 hari pada 11 Agustus 2025.
Kesepakatan itu mengunci tarif AS sekitar 55 persen atas barang impor asal China, serta bea masuk 30 persen dari China untuk produk AS. Namun, perundingan lanjutan belum menunjukkan kemajuan berarti.
Kunjungan negosiator perdagangan China, Li Chenggang, ke Washington pada akhir Agustus lalu, misalnya, tidak menghasilkan terobosan. “Pembicaraan bilateral tampak masih menemui jalan buntu,” dilansir dari Reuters.
Untuk mengimbangi penurunan ekspor ke AS, China memperkuat hubungan dagang dengan Asia Tenggara, Uni Eropa, Afrika, hingga Amerika Latin.
Meski demikian, belum ada negara yang mampu menggantikan posisi AS sebagai mitra dagang tunggal terbesar.
Sektor manufaktur China juga masih menunjukkan daya tahan. Survei swasta RatingDog mencatat, aktivitas pabrik berbasis ekspor pada Agustus melampaui ekspektasi, didorong peningkatan pesanan baru dari pasar luar negeri.
Baca juga: Danantara dan GEM Asal China Sepakati Investasi Hilirisasi Nikel Rp 23,3 Triliun
China dijadwalkan merilis data inflasi pekan ini, termasuk indeks harga konsumen (CPI) dan indeks harga produsen (PPI). Menurut proyeksi Goldman Sachs, PPI diperkirakan masih berada di zona negatif, turun 2,9 persen secara tahunan.
Namun, secara bulanan diprediksi mulai positif, seiring kebijakan “anti-involution” Beijing yang bertujuan menekan perang harga dan kenaikan harga bahan baku hulu.
Sementara itu, CPI diproyeksikan turun tipis 0,2 persen secara tahunan. “Inflasi utama kemungkinan akan sedikit negatif,” dikutip dari analisis Goldman Sachs.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini