JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu mengungkap produk solder Indonesia yang kalah bersaing dengan produk Malaysia.
Hal itu disebabkan kebijakan fiskal di Tanah Air yang membuat harga solder Indonesia lebih mahal.
Padahal, Malaysia mengambil timah dan tin ingot sebagai bahan baku solder dari Indonesia.
"Saya melihat faktor-faktor mengenai strategi fiskal di negara kita masih memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap Daya saing investasi yang ada di negara kita. Saya lihat ada di sektor timah salah satunya," ujar Todotua dalam acara Indonesia Green Mineral Investment Forum di Kantor BKPM, Jakarta, Kamis (2/10/2025).
"Bapak, Ibu bisa bayangkan ore (biji) nya ada di sini. Smelter ingot-nya ada di sini. Saat kita mau dorong lagi ke downstream (hilirisasi) yang namanya pabrik solder yang ada di Indonesia solder yang keluarnya itu lebih mahal daripada Malaysia Ini menjadi lucu," lanjutnya.
Baca juga: BKPM: Perizinan Makan Waktu 2 Tahun, Realisasi Investasi Indonesia Kalah dari Vietnam
Menurut Todotua, Malaysia mengimpor timah dan tin ingot timah sari Indonesia untuk membuat solder.
Ketika sudah jadi, produk solder dijual ke Indonesia.
"Dan soldernya bisa lebih murah daripada (produk) pabrik solder yang ada di Indonesia Setelah kita mitigasi, di situ ada persoalan mengenai strategi fiskal kita," ungkap Todotua.
Ia bilang, kebijakan fiskal di Indonesia menerapkan pajak untuk setiap tahapan hilirisasi timah yang dikenakan ke pengusaha.
Akibatnya harga produk akhir hilirisasi menjadi mahal.
Baca juga: BKPM Luncurkan EU Investment Desk untuk Tarik Investasi dari Uni Eropa
Sehingga menurut Todotua, pemerintah harus membenahi strategi fiskal nasional agar hilirisasi Indonesia bisa bersaing.
Selain itu, kebijakan fiskal yang baik juga akan mendorong masuknya lebih banyak investasi.
"Kalau kita mau mendorong, mau meminta investasi salam sektor hilirisasi downstream ini maka kita juga harus banyak pembenahan strategi kita yang memberikan kontribusi yang pada ujungnya adalah investasi itu harus punya daya saing," jelasnya.
Baca juga: Target Investasi 2026 Naik Jadi 2.175 Triliun, BKPM Minta Tambahan Anggaran Rp 487 Miliar