JAKARTA, KOMPAS.com – Harga emas di pasar spot anjlok lebih dari 5,3 persen pada Selasa (21/10/2025) ke level 4.125 dollar AS per troy ounce, atau sekitar Rp 68 juta per troy ounce (kurs Rp 16.500 per dollar AS). Penurunan ini menjadi yang terbesar dalam lebih dari lima tahun, sehari setelah menyentuh rekor 4.260 dollar AS.
Di saat bersamaan, Bitcoin justru sempat melonjak dari 107.000 dollar AS menjadi 113.000 dollar AS, atau setara sekitar Rp 1,86 miliar per koin. Namun, kenaikan 5,6 persen itu tidak bertahan lama. Aset kripto tersebut kembali terkoreksi ke kisaran 108.000 dollar AS (sekitar Rp 1,78 miliar).
Menurut Analyst Reku, Fahmi Almuttaqin, pergerakan berlawanan antara emas dan Bitcoin ini menunjukkan pasar tengah berspekulasi menjelang potensi pemangkasan suku bunga lanjutan oleh The Federal Reserve (The Fed) pekan depan.
“Data dari CME FedWatch Tool menunjukkan probabilitas pemangkasan suku bunga bulan ini hampir 99 persen. Sikap dovish The Fed membuat pasar berharap kondisi likuiditas ketat bisa segera membaik dan memicu rotasi modal dari aset aman seperti emas ke instrumen berisiko seperti Bitcoin,” ujar Fahmi dalam keterangan tertulis, Rabu (22/10/2025).
Baca juga: Harga Emas Dunia Anjlok Usai Sentuh Rekor Tertinggi Sepanjang Masa
Ia menambahkan, dengan harga emas yang telah melonjak signifikan beberapa pekan terakhir, sebagian investor memilih merealisasikan keuntungan dan memindahkan asetnya ke instrumen yang berpotensi memberikan imbal hasil lebih tinggi seiring meningkatnya likuiditas, seperti Bitcoin.
Laporan Bitwise pada awal pekan ini menyebutkan, rotasi dana sebesar dua persen dari total kapitalisasi pasar emas yang mencapai 17 triliun dollar AS saja berpotensi mendorong harga Bitcoin menembus 161.000 dollar AS, atau sekitar Rp 2,66 miliar per koin.
“Namun, perlu dicatat neraca keuangan The Fed belum menunjukkan ekspansi signifikan, sementara pemerintah AS masih menarik likuiditas dari sistem perbankan ke kas negara. Jadi, kondisi pasar uang global masih ketat dan rawan volatilitas,” kata Fahmi.
Baca juga: Bitcoin (BTC) Terpeleset ke Rp 1,84 Miliar Per Keping gara-gara Ketegangan AS-China
Ia menilai, penurunan suku bunga memang dapat menjadi katalis positif bagi aset berisiko, tetapi tetap harus diimbangi dengan strategi investasi yang hati-hati.
“Bagi investor profesional, pengelolaan portofolio aktif dan diversifikasi bisa memberikan hasil optimal. Sementara bagi investor pemula, strategi akumulasi bertahap seperti dollar cost averaging (DCA) masih relevan untuk diterapkan,” imbuhnya.
Fahmi menuturkan, strategi DCA menarik untuk dipertimbangkan karena memungkinkan investor mendapatkan harga rata-rata di tengah naik-turun pasar kripto. Ia menilai, tren bullish di pasar kripto masih cukup kuat jika pelonggaran moneter benar-benar dilakukan The Fed.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang