“Hindari kerusakan dan kesampingkan sikap pragmatisme yang hanya merusak partai. Jaga dan rawat partai warisan ulama” - KH Maimun Zubair (1928 – 2019).
SAAT ini elite politik nasional, terutama di Partai Persatuan Pembanguna (PPP) begitu “sulit” mencari tokoh sekaliber KH Maimun Zubair.
Mbah Moen demikian panggilan akrabnya adalah seorang ulama kharismatik asal Rembang, Jawa Tengah. Mendiang dikenal sebagai pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang yang juga menjabat Ketua Majelis Syariah PPP saat wafatnya di Tanah Suci, 6 Agustus 2019.
Sosok Mbak Moen mampu menjadi soliditas di tubuh partai berlambang Ka’bah di tengah konflik yang terus mendera partai.
PPP bersama PDI Perjuangan dan Golkar adalah partai politik “sisa” warisan yang dibentuk di era Orde Baru. Baik PPP maupun PDI Perjuangan adalah partai yang “dibonsai” melalui fusi atau penggabungan partai-partai yang bercorak sama.
Baca juga: Amran hingga Anies Masuk Bursa Caketum, Jubir PPP: Yang Pasti Aja
Baik PPP maupun PDI (sebelum menjadi PDI Perjuangan) memang sejak awal diskenariokan oleh rezim Orde Baru tidak boleh besar dan “selalu dibuat” konflik agar tidak bisa menyaingi kejayaan Golkar yang selalu “dimenangkan” di setiap Pemilu.
PPP di masa kini, terutama di satu dekade terakhir ini – di luar nama Mbak Moen - tidak lagi memiliki tokoh-tokoh sekaliber Ismail Hasan Metareum, Hartono Marjono, Aisyah Amini, KH Alawi Muhammad atau Hamzah Haz.
Politisi PPP di parlemen sudah kehilangan taringnya, tidak “segalak” dulu dalam membela umat.
Saya masih teringat dengan “kegalakkan” KH Alawi Muhammad saat mengkritisi Pembangunan Waduk Nipah yang merugikan petani Sampang, Madura pada 1993, saat Presiden Soeharto tengah kuat-kuatnya berkuasa.
Alawi paham, mengritik Orde Baru sama saja mengusik kenyamanan para penjilat Soeharto. Setiap kampanye Pemilu, Alawi selalu “diganggu” oleh oknum-oknum berseragam ketika menyampaikan pidato.
Pernah saat tengah berapi-api berkampanye di panggung, kabel yang menghubungkan mikropon dengan pengeras suara dipotong oleh oknum berseragam tersebut.
Tidak kehilangan akal, Alawi mencopot sendal yang dikenakan lalu berpidato lantang dengan sendal di tangan dan volume suara yang dikeraskan maksimal.
Massa yang melihat dan mendengar pidato pengasuh Pondok Pesantren At-Taroqi, Sampang tersebut begitu kagum dengan “kesaktian” Alawi yang bisa tetap berpidato tanpa mikropon.
Daya tarik PPP pasca-Reformasi semakin pudar setelah didera berbagai konflik internal yang kronis. Antarkader berkelahi memperebutkan jabatan di partai.
Baca juga: Romahurmuziy Bantah Obral Kursi Ketum PPP: Tak Ada Jual-Beli
PPP yang dulu memikat Raja Dangdut, Rhoma Irama dan Dai Sejuta Ummat, KH Zainuddin MZ, sempat terbelah dengan hadirnya Partai Bintang Reformasi pada 2002.