HARI-hari terakhir ini, sudah muncul wacana sosial baru di republik kita: Kongres Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP). Nama Megawati Soekarnoputri kembali mencuat, sebagai calon unggulan menjadi nakhoda utama partai tersebut.
Hingga kini, saya masih meyakini, nihil pat gulipat politik, defisit kongkalikong kekuasaan, Mbak Mega, tanpa saingan, akan terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum PDI-P lagi.
Laju jalan Mbak Mega tak akan tersendat, apalagi terhentikan. Para kader PDI-P tetap setia memperlakukan Mbak Mega sebagai founder utama partai, yang telah membayar harga begitu besar, termasuk nestapa kehidupan yang dilindas oleh rezim penguasa otoriter.
Mbak Mega melalui titian cobaan begitu dahsyat, demi partai, demi demokrasi, dan demi keadilan.
Di situlah sumber legitimasi utama kepemimpinan Mbak Mega di PDI-P. Deraan pengalaman empirik yang begitu pahit dan menindih, dilewatinya tanpa pernah mengeluh dan ingin surut dalam berjuang. Di sinilah ketokohan seorang Mbak Mega.
Baca juga: Usulan Pemakzulan Gibran, Suara di DPR, dan Hak Suara Rakyat
Max Weber membuat kategorisasi tipe kepemimpinan: pemimpin kharismatik, pemimpin tradisional dan pemimpin legal-rasional.
Pemimpin kharismatik adalah pemimpin yang menonjolkan pesona pribadi untuk memberi inspirasi dan motivasi kepada para anggota atau warganya.
Pemimpin tradisional, kata Weber, adalah pemimpin yang mengutamakan nilai-nilai atau norma-norma tradisi untuk memandu kepemimpinan.
Sementara kepemimpinan legal-rasional adalah tipe kepemimpinan yang mendasarkan segalanya pada aturan baku yang ada.
Selama memimpin PDI-P dari awal hingga kini, tipe kepemimpinan Mbak Mega yang amat menonjol adalah kharisma pribadi. Tegas dalam bersikap. Jelas dalam memandu kader-kadernya, ke arah mana hendak dituju.
Gamblang dalam memaparkan kehendak. Jalan pikirannya mudah dibaca karena apa yang dipikirkan, selalu sejalan dengan apa yang dilakoninya. Tidak lain di bibir, lain di lakon.
Kharisma pribadinya dalam memimpin, disempurnakan oleh keteguhannya memegang prinsip yang diyakini kebenarannya.
Pesona pribadi tersebut dilengkapi dengan kemampuannya mengutarakan kehendak dengan idiom-idiom patriotik yang amat mudah dicerna para kader.
Pola bahasa yang dipakainya adalah bahasa umum yang dipakai oleh semua kalangan. Bukan bahasa yang menunjukkan strata. Bahasanya straight to the point, tidak berkelok dan melingkar-lingkar. Baginya, bahasa dan diksi adalah cerminan laku.
Baca juga: Ultimatum Prabowo untuk Siapa?
Dalam konteks ini, Mbak Mega bukan pemain tonil handal di pentas politik, yang mahir dengan kepura-puraan laku serta diksi yang penuh saru dan dimaksudkan memang untuk menyembunyikan sesuatu.