KOMPAS.com - Program Indonesia Menuju Zero ODOL (over dimension over load) yang ditargetkan tercapai pada 2025 menjadi sorotan utama dalam agenda nasional keselamatan transportasi.
Pemerintah bersama Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), akademisi, dan stakeholder di bidang keselamatan dan transportasi berkomitmen menghentikan praktik kendaraan yang melebihi dimensi dan muatan teknis yang diatur undang-undang.
Dampak kendaraan ODOL sangat luas dan serius, mulai dari meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas dengan korban jiwa, kerusakan infrastruktur jalan yang menelan anggaran negara, hingga Rp 43 triliun per tahun (data Kementerian PUPR 2022).
Tak hanya itu, keberadaan ODOL juga turut menciptakan persaingan usaha yang tidak adil dalam sektor logistik serta menyumbang polusi tinggi akibat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) berlebih.
Baca juga: Tak Perlu Antre Bayar Pajak Kendaraan, Jasa Raharja Hadirkan SIGNAL KIOSK Modern di Jakarta
Sebagai wujud partisipasi aktif dalam upaya nasional, Direktur Kepatuhan dan Manajemen Risiko PT Jasa Raharja, Harwan Muldidarmawan, menyusun makalah akademik berjudul “Kendaraan ODOL: Analisis Akademik Komprehensif terhadap Regulasi, Dampak, dan Strategi Penanggulangan”.
Dalam kajiannya, Harwan menyoroti fakta bahwa kebijakan Zero ODOL belum efektif sepenuhnya akibat lemahnya pengawasan, kurangnya fasilitas jembatan timbang aktif, serta resistensi dari pelaku usaha karena tekanan ekonomi.
Menurut Harwan, kendaraan ODOL tidak hanya melanggar regulasi teknis, tetapi juga mencerminkan belum membuminya tata kelola, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial.
“Sebagai insan Jasa Raharja, saya merasa berkewajiban melihat persoalan kendaraan ODOL bukan sekadar pelanggaran lalu lintas, tapi sebagai krisis multidimensi yang menyangkut keselamatan publik dan efisiensi negara. Makalah ini saya susun sebagai kontribusi pemikiran untuk solusi komprehensif lintas sektor,” ujar Harwan dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Minggu (8/6/2025).
Untuk diketahui, makalah Harwan menyoroti bahwa untuk mencapai keberhasilan program Zero ODOL, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya represif, tetapi juga sistemik dan preventif.
Penanganan ODOL harus menyentuh akar masalah, termasuk reformasi dalam tata kelola transportasi, pelibatan aktif pelaku usaha logistik, serta edukasi publik yang masif.
Pentingnya konsistensi regulasi, integrasi data antarlembaga, serta pemanfaatan teknologi, seperti weigh-in-motion (WIM), dan sistem pelaporan real-time menjadi faktor krusial yang perlu diperkuat.
“Selain itu, shifting moda logistik dari jalan raya ke angkutan laut dan kereta api juga menjadi langkah strategis jangka panjang dalam mengurangi dominasi truk darat yang rawan ODOL,” kata Harwan.
Baca juga: Satukan Langkah Negara: Sinergi Jasa Raharja dan Jampidum Perkuat Perlindungan Korban Laka Lantas
Harwan juga menyoroti pentingnya prinsip Environmental, Social, Governance (ESG) dalam praktik bisnis. Tidak hanya perusahaan atau pengusaha angkutan logistik, tetapi juga harus menjadi perhatian dari produsen dalam memastikan distribusi produknya sampai kepada pelanggan.
Menurutnya, praktik ODOL bertentangan dengan prinsip keberlanjutan dan menciptakan ketimpangan sistemik.
“Sudah saatnya pelaku usaha yang patuh mendapat ruang lebih besar, sementara pelanggar diberi tekanan moral dan hukum yang sepadan,” tambahnya.