SETIAP kali Hari Raya Idul Adha tiba, kita disuguhkan kembali pada narasi klasik nan mendalam tentang kesediaan Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS, untuk berkorban demi menaati perintah Tuhan.
Namun, peristiwa spiritual ini sejatinya bukan sekadar ritual keagamaan yang berkaitan dengan penyembelihan hewan.
Ia menyimpan pesan-pesan transendental dan sosial yang sangat relevan, bahkan urgen, untuk kita refleksikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam ranah politik.
Politik, dalam tradisi filsafat yang luhur, bukan sekadar perebutan kekuasaan. Ia adalah seni dan ilmu untuk menata masyarakat agar mencapai kebahagiaan bersama.
Bila kita menyelami lebih dalam pemikiran para filsuf besar, seperti Abu Nashr Al-Farabi dalam Al-Madinah Al-Fadhilah, maka kita akan melihat politik sebagai jalan menuju kebajikan kolektif.
Baca juga: Di Ujung Perbedaan, Kita Satu Bangsa
Menurut Al-Farabi, manusia tidak dapat hidup sendiri; untuk mencapai kesempurnaan hidupnya, ia butuh bekerjasama, saling memenuhi kebutuhan satu sama lain dalam asosiasi sosial.
Kota ideal baginya adalah komunitas yang dibentuk atas dasar saling membantu untuk meraih kebahagiaan sejati.
Pemimpin dalam kota semacam ini adalah sosok yang memiliki kecerdasan intelektual dan kematangan spiritual, seseorang yang “mampu membimbing dengan baik, memahami kebijakan yang adil, dan menyatukan orang-orang demi kebahagiaan bersama.”
Tentu, banyak yang menilai pemimpin semacam ini sebagai utopia. Namun Al-Farabi tidak sedang berhalusinasi. Ia sedang memberi kerangka arah, bahwa politik semestinya tidak tercerabut dari akar-akar moral dan spiritualitas.
Dalam kerangka itulah, Idul Adha memberi makna istimewa. Kurban bukan hanya soal penyembelihan hewan, tetapi bentuk latihan jiwa. Ia adalah simbol kerelaan melepas sebagian dari milik kita, demi kebahagiaan orang lain.
Inilah akar kedermawanan dan kemurahan hati, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah.
Bagi para sufi, kerelaan berkurban adalah proses pembersihan jiwa dari egoisme, untuk memberi ruang bagi nilai-nilai ilahiah dalam tindakan manusia.
Dalam perspektif sufistik, orang yang murah hati itu qarib—dekat dengan Tuhan, dekat dengan sesama manusia, dekat dengan surga.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang yang murah hati dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Orang yang kikir jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh dari surga, dan dekat dengan neraka. Orang murah hati yang bodoh lebih dicintai oleh Allah daripada ahli ibadah yang kikir.”
Dalam perspektif sufi, “kedekatan” ini bermakna metafisikal. Orang yang rela mengorbankan materi demi sesuatu yang nonmaterial telah mulai mengaktualkan potensi rohani di dalam jiwanya.
Baca juga: Usulan Pemakzulan Gibran, Suara di DPR, dan Hak Suara Rakyat