Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Suprianto Haseng
Karyawan Swasta

Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor

Vonis 4,5 Tahun Tom Lembong: Noda Hitam Penegakan Hukum

Kompas.com - 20/07/2025, 08:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI TENGAH istirahat kerja, saya membaca berita yang membuat hati ini bergejolak marah dan kecewa. Mungkin demikian juga dirasakan oleh masyarakat yang menginginkan rasa keadilan bagi semua.

Putusan hakim yang memvonis Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, bersalah atas dugaan korupsi impor gula kristal mentah (GKM) periode 2015–2016 terasa begitu mengganggu.

Apa yang lebih membuat saya terheran-heran adalah ketiadaan bukti konkret yang menunjukkan aliran uang ke rekening pribadinya. Di mana keadilan yang selama ini kita harapkan?

Keputusan ini seakan mengabaikan prinsip dasar hukum, dan menimbulkan pertanyaan mendalam tentang integritas sistem yang seharusnya melindungi masyarakat.

Kekecewaan ini bukan sekadar berputar di ruang berita, ia menciptakan gelombang rasa sakit di hati masyarakat yang merindukan keadilan. Keadilan yang seharusnya menjadi pilar penegakan hukum, tampak ternoda oleh kepentingan tertentu.

Vonis ini bukan hanya keputusan, ia menggambarkan betapa hukum dapat ditekuk bahkan dimanipulasi, fakta persidangan bisa diabaikan, dan keadilan mudah dikorbankan.

Baca juga: Vonis Tom Lembong: 4,5 Tahun Bui meski Tak Nikmati Hasil Korupsi

Dalam suasana yang penuh kekecewaan ini, saya ingin bertanya, apakah ini yang disebut sebagai keadilan? Jika iyah demikian sungguh tragis hukum di negeri ini.

Kasus ini berpangkal pada kebijakan impor gula kristal mentah yang dikeluarkan oleh Tom Lembong saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan di era Joko Widodo pada periode 2015–2016.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung mendakwa Tom Lembong melakukan tindak pidana korupsi dengan menerbitkan 21 persetujuan impor (PI) kepada perusahaan swasta, yang dianggap melanggar regulasi dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 578,1 miliar serta memperkaya pengusaha swasta hingga Rp 515,4 miliar.

Tuduhan ini mencakup bahwa Tom Lembong tidak menunjuk perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk pengendalian ketersediaan dan stabilisasi harga gula.

Sebaliknya, dia menunjuk Induk Koperasi Kartika (Inkopkar), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Inkoppol), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (Puskopol), serta Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI/Polri.

Namun, waktu penetapan Tom Lembong sebagai tersangka pada 29 Oktober 2024, tepat setelah pelantikan presiden baru Prabowo Subianto memicu kecurigaan besar di tengah masyarakat.

Tom Lembong, yang dikenal sebagai Co-Captain Timnas Anies Baswedan pada Pilpres 2024, seolah menjadi target politisasi hukum.

Kekecewaan publik semakin memuncak ketika fakta-fakta persidangan yang seharusnya meringankan Tom Lembong justru diabaikan oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Dennie Arsan Fatrika.

Fakta persidangan, bukti yang diabaikan

Persidangan yang dimulai pada Maret 2025, mengungkap sejumlah fakta persidangan yang seharusnya menjadi dasar kuat untuk membebaskan Tom Lembong dari jeratan hukum. Namun, putusan hakim justru terasa seperti pengabaian terhadap kebenaran.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau