
“Tak ada satu orang pun yang berada di atas hukum. Jika ada yang lolos, maka bukan hukum yang berlaku, melainkan kekuasaan.”
KALIMAT itu seolah menemukan buktinya hari-hari ini, lewat kasus Silfester Matutina. Nama yang mungkin tidak asing bagi publik, karena ia kerap tampil di depan layar sebagai Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), membela Jokowi.
Mahkamah Agung sudah menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepadanya atas kasus pencemaran nama baik Jusuf Kalla. Putusannya pun sudah berkekuatan hukum tetap sejak 2024.
Namun hingga kini, di akhir Agustus 2025, Silfester masih bebas melenggang, seolah putusan hukum hanyalah sekadar formalitas.
Pertanyaan paling mendasar pun mencuat: apa arti putusan pengadilan tertinggi bila tak pernah dijalankan? Untuk apa peradilan panjang dan melelahkan digelar, bila pada akhirnya vonis yang lahir justru dibiarkan menggantung di udara?
Selama ini Kejaksaan berkali-kali memberi janji. Bahkan, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pernah mengeluarkan pernyataan tegas, siap menahan paksa jika Silfester tidak kooperatif.
Baca juga: Silfester Matutina Tak Kunjung Dieksekusi
Faktanya, sampai hari ini semua itu hanya berhenti di bibir atau isapan jempol. Tak ada langkah nyata. Publik merasa dibohongi atau minimal dipermainkan.
Ironisnya, di tengah statusnya sebagai terpidana, Silfester tampil penuh percaya diri di ruang publik. Ia bahkan mengaku atau sesumbar kalau sudah berdamai dengan Jusuf Kalla.
Klaim itu segera dimentahkan keluarga besar JK. Juru bicara JK, Husain Abdullah, menyebut tak ada pertemuan apa pun. Muchlisa Kalla—putri JK—menegaskan pernyataan Silfester adalah satu kebohongan publik.
Di sinilah persoalan menjadi semakin jelas. Bukan lagi soal hubungan personal antara Silfester dan JK, tetapi soal kredibilitas hukum negara.
Jusuf Kalla memilih diam, menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum. Sikap itu tegas: perkara ini sudah bukan urusan pribadi, melainkan soal wibawa negara hukum.
Upaya Silfester menunda eksekusi dengan mengajukan Peninjauan Kembali pun akhirnya runtuh. Pada 27 Agustus 2025, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan PK itu gugur.
Surat sakit yang diajukan terbukti tak sahih. Tidak ada penjelasan penyakit, tidak jelas siapa dokternya. Semua mengindikasikan akal-akalan untuk mengulur waktu. Dan kini, tak ada lagi alasan hukum yang bisa dipakai untuk menunda.
Namun anehnya, meski semua jalur hukum sudah tertutup, pintu penjara tetap tak terbuka untuknya. Apa artinya ini? Apakah hukum benar-benar bisa ditawar, dinegosiasikan, atau bahkan diabaikan?
Kasus ini memunculkan luka lama yang kerap kita bicarakan: hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.