BERKALI-kali rasionalitas publik dikangkangi dengan kebijakan Pemerintah yang rendah teknokrasi (Yanuar Nugroho, 21/4).
Ditambah beberapa menteri ceroboh dan lakukan blunder berulang kali. Ini telah saya ulas pada kolom yang lalu (17/8), “80 Tahun Merdeka, Terperangkap Mediokrasi”.
Imbasnya, kepercayaan publik tererosi, sedikit demi sedikit. Kesal dan muak itu memuncak ketika pajak naik. Konon tujuannya untuk ongkosi pembangunan.
Namun di tengah efisiensi, fasilitas anggota DPR tetap tinggi, salah satu yang disorot tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan. Di situ api kecil mulai terpantik, sementara beberapa anggota Dewan berjoget. Ironinya terjadi di forum resmi, sidang tahunan MPR (15/8).
Sedang di akar rumput, daya beli masyarakat turun. Fenomena “Rohana”, “Rohali” “Romusa” itu nyata (30/7). Soal ini, para ahli telah laporkan berkali-kali. Namun, para pejabat menyangkal, Menko Perekonomian, misalnya (5/8).
Angka-angka indeks juga mengafirmasi, kondisi Indonesia sedang tak baik-baik saja. Lagi-lagi itu disangkal, ketika BPS rilis pertumbuhan ekonomi Triwulan II capai 5,12 persen, dari sebelumnya 4,87 persen (5/8).
Lapangan kerja menyusut karena banyak PHK. Presiden sangkal, pengangguran sekarang terendah sejak 1998 (15/8).
Jauh sebelum itu, sesungguhnya #kaburajadulu (14/2) dan #indonesiagelap (17/2) telah beri alarm. Sayang, lagi-lagi disangkal dengan mengatakan “Indonesia Gelap didanai koruptor”.
Dengan nada meledek menimpali, “Sorry, ye. Indonesia cerah, masa depan Indonesia cerah” (20/7). Padahal, beberapa bulan sebelumnya Presiden minta jajarannya untuk perbaiki komunikasi (21/3).
Baca juga: Negara Bukan Malaikat, Rakyat Bukan Nabi
Di tengah situasi yang mulai menghangat, tiba-tiba Wakil Menteri Ketenagakerjaan dicokok KPK. Immanuel Ebenezer yang dikenal vokal itu menambah daftar panjang koruptor. Dengan ekspos barang bukti berupa puluhan mobil dan motor mewah, meningkatkan antipati (20/8).
Amuk massa itu sejatinya berakar dari penyangkalan kondisi, aspirasi dan perasaan masyarakat. Orang bilang, “Bebal!”.
Seandainya tak disangkal, Pemerintah akan punya pemahaman suasana kebatinan masyarakat yang lebih dalam. Juga punya analisis situasi yang lebih jernih. Ujungnya, mitigasi dapat dilakukan.
Dari sana mereka bisa tetapkan kapan suatu program diakselerasi dan kapan suatu kebijakan perlu direm. Namun, beberapa bulan terakhir, nampak Pemerintah bekerja tanpa navigasi.
Tandanya, kementerian/lembaga berlomba-lomba ajukan anggaran jumbo (12/7). Menteri Keuangan, yang biasanya lakukan disiplin fiskal, juga terlihat kedodoran. Tak lagi lihat mana yang prioritas, mana yang urgen dan mana yang bisa dijeda.
Beberapa waktu belakangan, alarm sempat menyala lagi. Lalu dipatahkan dengan pernyataan Presiden, “Banyak pihak yang sengaja ingin memicu kerusuhan di Indonesia” (28/8). Seolah semua hal bersumber dari faktor eksternal, bukan internal pemerintahan.