
TAMPIL memukau. Penuh determinasi. Keinginan dan pesan yang ingin disampaikan jelas dan terang. Tidak saru, nihil kesamaran.
Bahasanya lugas, tidak diperhalus dengan undangan tafsir yang beraneka rupa. Semua mata memandangnya, penuh fokus, sekalian padat dengan ketakjuban.
Begitulah Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, yang berdiri di atas podium Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), September 2025, di kota New York.
Hari itu, Presiden Indonesia ini, bagai medan magnet yang menyedot segala yang ada di sekitarnya.
Retorikanya amat menawan. Diksinya luar biasa lugas dan kalimatnya membuat orang yang mendengarnya, tak bisa menghela nafas. Sangat humanis dan menyentuh relung-relung kalbu.
Ia tidak sekadar berpidato dengan retorika, tetapi teatrikal. Presiden Prabowo seolah menyihir dan membuat hadirin dalam ruangan Majelis Umum PBB dan pemirsa televisi, memasrahkan diri untuk ditarik ke mana saja Prabowo kehendaki.
Ia sangat memesona hari itu. Para pemimpin dunia seolah tak sanggup berkata apa pun, apalagi menyanggahnya.
Baca juga: Pengakuan Barat dan Utopia Penyelamatan Gaza
Di masa-masa awal kelahiran PBB hingga tahun 1960-an, Sidang Majelis Umum PBB ditandai oleh pidato para pemimpin dunia yang menggelegar di wilayah derita lantaran kolonialisme dan imperalisme.
Singa-singa podium ketika itu selalu menggelegar, semisal Sukarno, Nasser (Mesir), Kwame Nkrumah (Ghana).
Di tahun 1970-an, debat di PBB banyak diwarnai nuansa perang ideologi (perang dingin): Komunis versus Demokrasi (liberalisme). Presiden Kuba, Fidel Castro acapkali mengundang perhatian dengan gaya pidatonya yang selalu mengguntur.
Tahun 1980 hingga 2000-an, debat di PBB mulai mengangkat tema ketimpangan dunia antara negara-negara kaya versus negara-negara tak beruntung.
Negara-negara dikotakkan dalam tiga tempat: Core, semi-periphery, dan Periphery (dependentia). Seiring dengan pola ini, muncul tema dialog Utara-Selatan untuk menjembatani gap yang menganga lebar ketika itu.
Yang selalu menjadi sasaran kritik dan sinisme ketika itu, adalah negara-negara industri yang dinilai kian rakus dan kehilangan rasa persaudaraan. Kritik ini banyak disuarakan oleh negara-negara Asia, Latin dan Afrika.
Juru bicara yang menonjol saat itu, antara lain, adalah Presiden Tanzania, Julius Nyerere, Mahathir Muhammad (Malaysia), dan Cardoso (Brasil).
Tahun-tahun setelah era itu, guntur para pemimpin negara-negara non-industrial, adalah sorotan tajam terhadap Amerika Serikat yang sangat mahir melakukan intervensi ke bebarapa negara berdaulat.