Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Edy Suhardono
Psikiater/Psikolog

Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre

Keadilan yang Viral, Demokrasi yang Virtual

Kompas.com - 18/10/2025, 09:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

FENOMENA sorotan "No Viral, No Justice" yang masih marak di tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran bukanlah sekadar anomali media sosial. Sebagai seorang psikolog yang telah mengamati perilaku kolektif selama empat dekade, saya melihat ini sebagai gejala klinis dari sebuah kondisi yang jauh lebih dalam: matinya ruang publik yang otentik.

Ketika warga merasa sistem formal tidak lagi mendengarkan—ketika parlemen, hukum, dan birokrasi menjadi beku—mereka terpaksa mencari keadilan di satu-satunya ruang tersisa yang memiliki daya tekan: ruang viral.

Ini adalah tragedi demokrasi. Keadilan yang bergantung pada algoritma adalah bentuk paling rapuh dari penegakan hak. Ia menandakan bahwa kita tidak lagi memiliki "ruang publik" yang berfungsi, sebuah konsep yang menjadi jantung pemikiran filsuf politik Hannah Arendt.

Baca juga: Polisi Pemilik Rubicon Viral Pelat Gantung Akhirnya Mendapatkan Sanksi

Padamnya Ruang Publik Arendtian

Dalam mahakaryanya, The Human Condition (1958), Hannah Arendt mendefinisikan ruang publik (public sphere) bukan sebagai lokasi fisik, melainkan sebagai ruang inter-homines (di antara manusia) di mana kekuasaan (power) otentik lahir dari warga negara yang bertindak dan berbicara bersama secara bebas. Kekuasaan ini, bagi Arendt, fundamental berbeda dari paksaan (force) atau kekerasan (violence), yang ia elaborasi lebih lanjut dalam On Violence (1970).

Apa yang kita saksikan hari ini adalah pergeseran berbahaya dari kekuasaan kolektif (power) menjadi sekadar penerapan paksaan administratif (force). Narasi “yang penting jalan” secara esensial bersifat anti-Arendtian. Ia mendelegitimasi jantung ruang publik—yaitu deliberasi, perdebatan, dan perbedaan pendapat—dengan membingkainya sebagai inefisiensi yang menghambat "gerak".

Ketika kritik dianggap sebagai kebisingan, institusi formal kehilangan fungsinya. DPR, sebagai pilar pengawasan, berisiko tergelincir dari ruang deliberasi menjadi sekadar ruang afirmasi pragmatis. Di saat yang sama, institusi negara yang seharusnya melindungi ruang sipil, justru menjadi pelaku utama pelanggarannya.

Laporan KontraS pada semester pertama 2025 yang menempatkan Polri sebagai aktor pelanggar kebebasan sipil tertinggi, serta catatan Amnesty International mengenai “arus balik” hak asasi manusia, adalah data empiris yang memvalidasi matinya ruang publik Arendtian ini.

Dalam ruang yang padam inilah, warga mulai mengkhawatirkan bagaimana instrumen kekuasaan negara, seperti amnesti dan abolisi di era Prabowo, akan digunakan—apakah sebagai instrumen rekonsiliasi atau alat paksaan.

Baca juga: Usai Viral, Jalan Berlubang dan Tergenang Air di Kramat Jati Diperbaiki

Anestesi Kognitif dan Panggung Hipereal

Lalu, bagaimana kondisi ruang publik yang padam ini dikelola agar tidak meledak? Jawabannya ada pada frasa "yang penting jalan". Ia berfungsi sebagai narkotika politik, sebuah instrumen anestesi sosial yang dirancang untuk menumpulkan nalar kritis.

Dari kacamata psikologi kognitif, mantra ini secara cerdik mengeksploitasi bias alamiah manusia terhadap kepastian. Publik yang lelah dengan ketidakpastian akan secara aktif melakukan apa yang disebut psikolog Ziva Kunda dalam artikel seminalnya, "The Case for Motivated Reasoning" (Psychological Bulletin, 1990), sebagai nalar terjustifikasi.

Kita secara aktif mencari pembenaran bahwa pemerintah "bekerja", dan frasa ini menyediakan filter kognitif sempurna untuk itu. Anestesi kognitif ini menciptakan panggung sempurna bagi hiperealitas. Filsuf pasca-modernis Prancis, Jean Baudrillard, dalam karyanya Simulacra and Simulation (1981), mendefinisikan hiperealitas sebagai kondisi di mana simulasi atau citraan (simulacra) menjadi lebih nyata dan berpengaruh daripada realitas itu sendiri.

Kita terseret ke dalam arena politik yang bergeser dari substansi ke simbol. Kita menyaksikan kesenjangan brutal antara panggung hipereal dan realitas empiris. Di panggung ketahanan pangan, disajikan narasi "surplus beras tertinggi sepanjang sejarah". Realitas empiris di baliknya: produksi fluktuatif, daya beli masyarakat melemah, dan impor komoditas lain masih tinggi.

Di panggung kesejahteraan sosial, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dinarasikan sebagai pencipta 290 ribu lapangan kerja. Realitasnya: alokasi Rp71 triliun dengan risiko korupsi tinggi dan beban fiskal jangka panjang. Narasi ekonomi "on the track" bertabrakan dengan prediksi pertumbuhan stagnan di bawah 5% dan konsumsi rumah tangga yang melambat.

Baca juga: Viral Diduga Cibir Demonstran, Anggota DPRD Gorontalo Utara Klarifikasi

Vaksinasi Nalar Kritis Sistemik

Melawan candu ilusi ini menuntut lebih dari sekadar keluhan; ia memerlukan vaksinasi nalar kritis secara massal dan sistemik. Sebagai psikolog, saya percaya ada tiga dosis konkret yang harus disuntikkan ke dalam tubuh bangsa.

Dosis Pertama: Detoksifikasi Institusional. Kita harus melampaui jargon "good governance" dan bergerak menuju reformasi struktural yang memaksa akuntabilitas. Perlu ada legislasi yang mewajibkan mekanisme deliberasi publik yang mengikat untuk semua Proyek Strategis Nasional. Ini akan memaksa parlemen kembali ke fungsi deliberatif Arendtian-nya, bukan sekadar afirmatif.

Dosis Kedua: Serum Transparansi Radikal. Antitesis paling ampuh untuk simulasi Baudrillard adalah data mentah yang terverifikasi dan mudah diakses. Kita perlu membangun "Dasbor Akuntabilitas Publik" nasional yang dikelola independen, melacak setiap rupiah anggaran secara real-time. Model sukses di tingkat lokal seperti "JAKI" di Jakarta atau "Helo Ciamis" membuktikan ini bukan utopia.

Dosis Ketiga: Imunisasi Nalar Publik. Ini adalah gerakan nasional literasi digital kritis. Bukan sekadar membedakan hoaks, tapi membekali warga, terutama Generasi Z, dengan imunitas psikologis terhadap manipulasi narasi. Kurikulum harus eksplisit mengajarkan cara mendekonstruksi narasi politik, mengidentifikasi sesat pikir, dan memvalidasi klaim. Ini akan mentransformasi generasi muda dari target pasif simulasi menjadi agen aktif penjaga kewarasan publik.

Pada akhirnya, kerinduan kita akan pemerintahan yang "berjalan" adalah wajar dan manusiawi. Namun, kemajuan sejati bukanlah sekadar gerak tanpa arah. Ia adalah pergerakan yang sadar, akuntabel, dan berkeadilan. Jika tidak, kita akan terus terjebak dalam ironi demokrasi yang menyedihkan: sebuah negara di mana keadilan hanya bisa "jalan" jika ia viral, sebuah fenomena yang masih marak disorot di tahun pertama Prabowo-Gibran.

Baca juga: Masih Marak Sorotan No Viral No Justice di Tahun Pertama Prabowo-Gibran

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Terkini Lainnya
KPK Usut Kerugian Negara Terkait Kasus Petral
KPK Usut Kerugian Negara Terkait Kasus Petral
Nasional
Kesaksian Pihak Orkes Sidang MPR soal Anggota DPR Joget: Lagunya Gembira
Kesaksian Pihak Orkes Sidang MPR soal Anggota DPR Joget: Lagunya Gembira
Nasional
OTT, KPK Tangkap Gubernur Riau Abdul Wahid
OTT, KPK Tangkap Gubernur Riau Abdul Wahid
Nasional
Jadi Pilot Airbus A400M Pertama, Mayor Riki Sihaloho: Senang dan Bersyukur!
Jadi Pilot Airbus A400M Pertama, Mayor Riki Sihaloho: Senang dan Bersyukur!
Nasional
Materi soal Pekerja Migran Akan Diajarkan di Sekolah Rakyat
Materi soal Pekerja Migran Akan Diajarkan di Sekolah Rakyat
Nasional
Kepala BGN Tegaskan Tak 'Plek' Contoh MBG India: Kita Beda Banget
Kepala BGN Tegaskan Tak "Plek" Contoh MBG India: Kita Beda Banget
Nasional
Penjarahan Rumah Sri Mulyani hingga Sahroni Disebut Sudah Direncanakan
Penjarahan Rumah Sri Mulyani hingga Sahroni Disebut Sudah Direncanakan
Nasional
BGN Akui Keracunan MBG Masih Terjadi, Kebanyakan karena Kualitas Air
BGN Akui Keracunan MBG Masih Terjadi, Kebanyakan karena Kualitas Air
Nasional
Pilot A400M Jalani Latihan Tambahan 30 Hari Usai Mendarat di Lanud Halim
Pilot A400M Jalani Latihan Tambahan 30 Hari Usai Mendarat di Lanud Halim
Nasional
Dugaan Mark Up Whoosh, KAI Siap Suplai Data dan Beri Kesaksian
Dugaan Mark Up Whoosh, KAI Siap Suplai Data dan Beri Kesaksian
Nasional
KSPSI Sidak Pabrik Ban Bareng Dasco: Perusahaan Tak Patuh Akan Dipanggil DPR
KSPSI Sidak Pabrik Ban Bareng Dasco: Perusahaan Tak Patuh Akan Dipanggil DPR
Nasional
Dari Langit Eropa ke Indonesia: Perjalanan Panjang Mayor Riki Bawa Pulang Airbus A400M Pertama ke Tanah Air
Dari Langit Eropa ke Indonesia: Perjalanan Panjang Mayor Riki Bawa Pulang Airbus A400M Pertama ke Tanah Air
Nasional
Ini 'Tugas' dari Prabowo untuk Pesawat A400M: Evakuasi hingga Misi Kemanusiaan
Ini "Tugas" dari Prabowo untuk Pesawat A400M: Evakuasi hingga Misi Kemanusiaan
Nasional
KPK Terbitkan Sprindik Baru Kasus Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang
KPK Terbitkan Sprindik Baru Kasus Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang
Nasional
Dasco Sidak ke Pabrik Ban Michelin karena Endus Pelanggaran PHK
Dasco Sidak ke Pabrik Ban Michelin karena Endus Pelanggaran PHK
Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau