Terhitung, dua kali Labuan Bajo terendam banjir sejak Januari 2024.
Ironisnya, dengan hujan satu hingga tiga jam saja, Kota Labuan Bajo terendam banjir, mulai dari pusat kota hingga ke sejumlah wilayah permukiman warga.
Menyoroti hal itu, warga sekaligus aktivis lingkungan yang berbasis di Labuan Bajo, Doni Parera, mengatakan bahwa Labuan Bajo selalu banjir meskipun hujan hanya satu atau dua jam.
Ini menjadi sebuah pertanda alam yang jelas bahwa telah terjadi kemerosotan lingkungan hidup yang luar biasa.
Hal ini menyebabkan alam tidak punya kemampuan lagi untuk menahan laju aliran air karena beberapa sebab.
"Hutan yang sudah gundul, ada infrastruktur fisik masuk ke alam area hutan, penyempitan alur-alur aliran alami air, terutama kali mati, hilangnya area tangkapan dan parkir air, sehingga alam tidak punya kemampuan menahan laju air yang seharusnya menjadi tugas akar-akar pohon," ujar Doni di Labuan Bajo, Senin (16/3/2025).
Ia menyebut bahwa hutan tutupan Bowo Sie sudah beralih menjadi area komersial, dibangun infrastruktur yang mengurangi muka lantai hutan dan area resapan air.
Namun, dalam penyampaian ke publik, hal tersebut dikatakan untuk konservasi.
Kemudian, penimbunan area-area yang dulunya menjadi lokasi tangkapan air, seperti area bandara, seputar rumah dinas bupati, angkatan laut, Bulog, area SMIP, Batu Susun, dan Batu Cermin, yang sekarang telah berubah menjadi pemukiman dan perkantoran.
Dulu, menurut dia, di sisi kiri bandara yang menghadap ke arah utara terdapat cekungan-cekungan yang menampung air di bawah bukit, yang sekarang ada bangunan pemantau cuaca di atasnya.
Area tangkapan air ini membuat ada mata air yang mengalir deras ke arah Binongko.
Namun, sejak cekungan itu ditimbun untuk perluasan bandara, mata air di sisi lain bukit tersebut mati.
Sekarang, tersisa sedikit cekungan yang belum terimbun di ujung landasan bagian utara, dan masih menampung air hujan.
"Sampai tahun 90-an dan awal tahun 2000-an, kita masih bisa melihat area-area tampungan air, termasuk telaga-telaga yang terbentuk di dalam cekungan lantai hutan," ungkap dia.
Ia membeberkan salah satunya telaga yang terletak dalam cekungan lantai hutan di Bowo Sie yang airnya mengalir deras keluar lewat Wae Nahi, Liang Raba di Sernaru, kemudian mengalir membentuk aliran Wae Kelambu yang bermuara di Pasar Lama Labuan Bajo.
Setelah hutan menipis, aliran itu hanya bertahan beberapa bulan sebelum kembali mengalir.
Hal lainnya, menurut dia, adalah penyempitan aliran air oleh bangunan di dalam kota Labuan Bajo.
Paling nyata adalah pembangunan saluran air di Lamtoro, yang dibuat lebih sempit dari kondisi awal yang seharusnya lebih lebar, karena harus mengalah pada bangunan-bangunan yang cenderung merampas area aliran air.
"Kita tampaknya tidak punya daya untuk mengatur diri agar lebih mempertimbangkan kondisi alam ketika membangun, agar alam akan selalu ramah kepada kita. Pun, seperti malas berpikir atau memang tidak mampu mengantisipasi perubahan iklim sehingga dapat menyesuaikan dengan bagaimana kita membangun infrastruktur fisik sehingga tidak cemas pada saat cuaca ekstrem," ungkap Doni.
Ia menyampaikan bahwa menanam pohon dan memungut sampah hanyalah kegiatan-kegiatan seremonial yang dilakukan demi pencitraan belaka, dan tidak pernah dilakukan dengan serius, karena tidak ada kelanjutan perawatan yang serius.
"Coba perhatikan, berapa banyak pohon yang berhasil tumbuh setelah banyak penanaman yang menghabiskan banyak anggaran. Nah, sekarang bagaimana kita menjadi cemas dan saling menyalahkan ketika terjadi cuaca ekstrem, air mencari jalannya, meluncur deras ketika semua penyangga-penyangga alaminya telah kita hancurkan," ujar Doni.
https://regional.kompas.com/read/2025/03/17/122923878/labuan-bajo-kerap-banjir-saat-hujan-warga-hutan-sudah-gundul-hingga