Asap itu bukan hanya mengganggu pemandangan, tetapi juga menjadi ancaman bagi paru-paru penduduk setempat.
Kepulan asap itu keluar dari cerobong pabrik tahu selama hampir 24 jam setiap harinya.
Setidaknya ada 51 Industri Kecil Menengah (IKM) yang menggunakan limbah plastik sebagai bahan bakar untuk menekan biaya produksi ketimbang harus menggunakan bahan bakar ramah lingkungan.
Asap hasil pembakaran sampah plastik untuk produksi dan penggorengan tahu itu dirasakan penduduk setempat selama puluhan tahun.
Sampah plastik yang disuplai ke pabrik tahu tidak hanya berasal dari daerah di Indonesia, tetapi juga dari luar negeri.
Sampah karet, sol, dan styrofoam masuk ke dalam tungku pembakaran. Akibatnya, menimbulkan masalah polusi udara yang berdampak serius pada kesehatan, terutama Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Dalam empat bulan terakhir, Desa Tropodo tercatat menjadi wilayah dengan laporan ISPA tertinggi di Kecamatan Krian.
Selama April hingga Juli, jumlah kunjungan pasien ISPA di Puskesmas Krian dari Desa Tropodo sebanyak 521 orang, disusul Desa Krian dengan 463 pasien dan Sedengan Mijen dengan 445 pasien.
Pasien ISPA tersebut didominasi oleh kelompok orang dewasa usia 19-59 tahun. “Jumlahnya cenderung fluktuatif. Setiap bulannya tidak tentu Desa Tropodo tertinggi,” kata Kepala Puskesmas Krian, Titik Sri Harsasih.
Titik mengatakan, polusi asap pabrik tahu Tropodo tidak bisa menjadi satu-satunya penyebab penduduk setempat rentan terkena ISPA.
Secara geografis, wilayah tersebut merupakan permukiman padat dan berdampingan dengan polusi kendaraan. Selain itu, faktor cuaca yang berubah-ubah juga mempengaruhi munculnya gejala ISPA.
Butuh penelitian lebih lanjut untuk mengungkap dampak polusi asap pabrik tahu bagi kesehatan. “Kita hanya melakukan pemeriksaan kepada pasien yang mengalami gejala-gejala itu seperti batuk dan pilek,” ungkap dia.
Namun, karena pabrik tahu yang tersebar di desa itu, Tropodo masuk dalam daerah pilot project Puskesmas Krian untuk program Usaha Kesehatan Kerja.
Setiap petugas kesehatan Puskesmas Krian datang ke Desa Tropodo untuk memeriksa rutin kesehatan penduduk, terutama pekerja, setiap sebulan sekali.
Warga Dusun Klagen, Afifah Purnawati (52), yang rumahnya berhadapan langsung dengan salah satu pabrik tahu, mengaku mengeluhkan gatal-gatal pada kulitnya.
“Dada juga kadang sesak, tapi saya tidak batuk pilek. Tapi ini gatal-gatal sampai tidak bisa dioles alkohol,” kata dia.
Tidak hanya pada kulit, ia menemukan flek hitam pada dinding, lantai, perabot rumah, hingga kasur.
Flek hitam tersebut merupakan partikel halus kandungan asap pembakaran sampah plastik di pabrik tahu.
Partikel ini tidak bisa dihapus hanya dengan basuhan air. Butuh gosokan sabun cair hingga berkali-kali untuk benar-benar bersih di kulit.
“Tetangga saya itu batuk juga tidak sembuh-sembuh. Orang-orang sekitar itu batuk ya sering, sesak,” ujar dia.
Setelah hidup selama puluhan tahun di Desa Tropodo, Afifah pun kian menyadari bahwa lingkungan rumahnya tidak lagi sehat. Apalagi, asap hitam itu belakangan muncul lebih sering.
Tetapi di sisi lain, mereka juga butuh mata pencarian apabila pabrik terancam ditutup. “Sebenarnya ya tidak nyaman, tapi bagaimana lagi. Kalau ada sidak atau ramai-ramai, putih asapnya, tapi tidak lama kembali lagi hitam,” tutur dia.
Pada tanggal 17 Mei 2025, berdasarkan pengukuran PM 2.5, baku mutu kualitas udara di Dusun Areng-Areng, Tropodo menunjukkan angka 1063 μg/m³. Sementara itu, pengukuran PM 10 menunjukkan angka 1401 μg/m³.
Padahal, untuk ambang batas aman baku mutu udara berdasarkan PP Nomor 22 Tahun 2021 adalah PM 2.5=55 μg/m³ dan PM 10=75 μg/m³.
“Pencemaran udara di Tropodo harus dikatakan memang sudah layak kejadian luar biasa karena ini sudah terjadi selama puluhan tahun,” kata Aktivis Lingkungan sekaligus pendiri Ecoton, Prigi Arisandi.
Ecoton dan Akamsi (Aliansi Komunitas Penyelamat Bantaran Sungai) mengungkapkan, udara yang berada di Desa Tropodo telah mengandung mikroplastik akibat pembakaran di pabrik tahu.
Khususnya di area tersebut, partikel mikroplastik yang ditemukan mengandung 13 fiber dan 12 filamen.
“Proses pembakaran itu seperti plastik yang dicampur kertas kering, jadi mudah terbakar dan panasnya awet, jadi ibaratnya sebagai bahan bakar favorit,” ungkap dia.
Proses pembakaran sampah tersebut juga menjadi ancaman nyata bagi kesehatan karena memicu pelepasan senyawa berbahaya seperti dioksin dan furan.
Untuk itu, Ecoton meminta agar Pemerintah memasang alat pemantau kualitas udara di sekitar pabrik tahu Tropodo untuk menghitung partikel debu (PM2.5, PM10), gas berbahaya (CO, SO2, NO2), serta faktor lingkungan lainnya seperti suhu dan kelembapan.
Plastik merupakan bahan yang sulit diurai. Meski dibakar, proses penguraian tidak dapat sempurna.
Apabila hanya diletakkan di atas tanah dalam kurun waktu yang lama, maka akan mencemari lingkungan. Ketika dibakar, sisa bakaran berupa asap akan mengudara dan masuk ke saluran air. Sehingga, air ikut tercemar.
Meski dampaknya belum dirasakan oleh warga setempat dalam waktu yang singkat, praktik tersebut bisa mengakibatkan penyakit paru kronis jenis PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) atau penyakit paru lainnya.
“Ke depannya nanti tidak hanya ISPA, tetapi juga PPOK, kanker, atau penyakit sistematik lainnya. Karena nano plastik ada risiko terjadinya kanker usus,” kata dia.
Meski begitu, Prastuti menegaskan, jenis penyakit tertentu, misalnya seperti ISPA, tidak bisa dikatakan sebagai penyebab satu-satunya dari hasil pembakaran sampah plastik karena membutuhkan observasi lebih lanjut.
Ia menyarankan agar para pekerja dan warga sekitar masif menggunakan masker serta rutin melakukan pemeriksaan ke faskes terdekat.
Dosen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi tersebut juga menyarankan agar warga menjalani tes spirometri untuk mendeteksi fungsi paru, sayangnya harga tes ini cukup mahal.
“Sehingga apabila ada gejala batuk, pilek, sesak, apalagi kalau lebih dari dua minggu, segera cek ke puskesmas,” tutur dia.
Bahan bakar sampah plastik
Salah satu pengusaha pabrik tahu di Dusun Klagen, Tropodo, Muhajir mengaku, pabrik tahunya tidak sepenuhnya menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar.
Sebagian bahan bakar menggunakan ramah lingkungan, yakni sabut kelapa dan kayu. Hal ini juga dibuktikan dengan asap yang ditimbulkan warganya tidak cenderung hitam.
Namun ia tidak menampik, masih banyak pengusaha pabrik tahu di desanya yang masih murni menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar.
“Lihat itu, asapnya hitam kan? Itu yang masih pakai plastik,” kata Muhajir sambil menunjukkan asap yang muncul dari cerobong pabrik lain di sekitar tempatnya.
“Sesama pengusaha itu saya sering ajak diskusi, gimana caranya supaya tidak sampai menggunakan sampah plastik, tapi ya tetap keras kepala,” kata dia.
Pada masa kepemimpinan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, pengusaha pabrik tahu di Tropodo mendapat bantuan bioler tungku kayu bakar.
“Tapi tidak pernah disosialisasi atau semacamnya. Jadi tidak terpakai itu punya saya, tidak bisa,” ucap dia.
Hanya datang melakukan sidak saat isu pabrik tahu Tropodo kembali mencuat ke publik.
“Kalau lagi ramai doang diawasi. Kalau ada yang sidak ke sini baru ribut semua. Kita pernah rapat sama pejabat Kementerian dan Provinsi Jatim, juga tidak diberi waktu untuk menyampaikan pendapat,” ujar dia.
Ia berharap, sebagai pelaku usaha dapat terus dikawal agar daerahnya tertib dan tidak menimbulkan efek bahaya bagi kesehatan warga setempat.
“Kami berharap itu ya dikawal, ada pembinaan, sosialisasi kesehatan. Kalau ada ribut-ribut saja ke sini,” pintanya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Sidoarjo, Bahrul Amiq mengakui pihaknya kesulitan mengatasi pencemaran di pabrik tahu di Desa Tropodo.
“Saya berpikir, mau dilarang seperti apa itu juga tidak bisa, PR-nya masih banyak. Kami bersama Provinsi dan Kementerian itu sudah memberikan peringatan keras,” kata Bahrul Amiq.
Padahal, praktik penggunaan bahan plastik sebagai bahan bakar secara tegas dilarang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kata Amiq, kelemahan Pemerintah Daerah (Pemda Sidoarjo) tidak memiliki tim PBNS atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup yang sudah terverifikasi, sehingga tidak dapat melakukan penyidikan.
Sehingga, pihaknya meminta bantuan kepada Kementerian Lingkungan Hidup untuk turut mengatasi pabrik tahu di Tropodo.
“Kita juga tidak mungkin standby di sana 24 jam. Kadang saya minta Pak Lurah untuk memberikan info. Makanya saya juga berharap Camat, Koramil, Kapolsek, itu lebih dekat,” sebut dia.
Sebenarnya, pada pertengahan Mei 2025 lalu, Pemda, Pemprov, dan Kementerian telah mengawal 51 pengusaha pabrik tahu untuk berkomitmen untuk tidak lagi menggunakan sampah plastik sebagai bahan bakar.
Namun, praktik ini masih terus berlanjut.
Amiq juga mengaku sedang mengkaji solusi mengatasi pencemaran udara di Desa Tropodo dengan menggunakan alat yang mampu meresidu asap pembakaran.
“Karena selama ini asapnya langsung keluar dari cerobong menjadi partikulat hitam pekat, harus ada treatment mencuci asap,” terang dia.
Pemda Sidoarjo sempat menyebut akan memberikan subsidi bahan bakar ramah lingkungan.
Namun, hingga saat ini belum ada realisasi. “Saya belum dapat progres untuk jaringan gasnya. Waktu itu Pemprov mau mengundang Pertamina untuk membantu melakukan uji coba,” ujar dia.
Dosen Teknik Lingkungan Universitas Airlangga Surabaya, Rizky Amalia Putri mengatakan, bahan bakar ramah lingkungan yang bisa digunakan adalah kayu bakar, minyak jelantah, atau gas elpiji.
“Pembakaran plastik dengan teknik yang benar, yaitu tungku pembakaran tertutup, suhu terukur (850-140 °C), sehingga tidak menghasilkan zat beracun seperti dioksin,” kata dia.
Selain itu, cerobong emisi harus dilengkapi dengan alat pengendali pencemar udara, dan pemantauan kualitas udara di cerobong serta lingkungan sekitar pembakaran juga dilakukan secara berkala terhadap kandungan GRK dan gas beracun lainnya.
Pemerintah juga harus aktif melakukan pemantauan operasional pabrik dan emisi udara yang dikeluarkan, serta kualitas udara di sekitar pabrik dan memberikan solusi atau hukuman terhadap pabrik yang masih melanggar ketentuan operasional.
“Misalnya penutupan pabrik, mencabut izin operasional, dan sebagainya. Kerjasama juga dibutuhkan antara pemerintah, Lembaga Masyarakat, pemilik pabrik, dan akademisi dalam menyelesaikan masalah ini secara optimal,” tutup perempuan lulusan ITS Surabaya tersebut.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/08/31/072547478/bahan-bakar-plastik-di-pabrik-tahu-tropodo-sidoarjo-ancam-kesehatan-warga