Untuk itu ia tidak menyebut ini sebagai “unique selling point”, melainkan lebih sebagai cara membangun semesta cerita yang berbeda di media sosial.
“Bukan sekadar jualan kopi, tapi juga pengalaman dan rasa penasaran,” ucap Galih Phuja Ardian.
Pengunjung pun bisa menikmati sebuah ruang kecil dengan konsep vintage yang penuh kehangatan.
Dipenuhi barang-barang "jadul" koleksi pribadinya mulai dari bass tua, lemari kayu klasik, bahkan lampu-lampu retro yang menghidupkan nuansa masa lalu.
Semuanya dirangkai agar pengunjung bisa merasa seperti sedang ngopi di ruang tamu masa kecil.
Baca juga: Kisah Alumni Institut Kemandirian Dompet Dhuafa, Dirumahkan Saat Pandemi, Kini Buka Kedai Kopi
Tidak heran jika banyak yang datang bukan hanya karena menu, tapi juga suasananya yang nyaman dan tidak bising seperti kebanyakan tempat nongkrong.
“Memang dari dulu saya suka barang lawas. Sebagai fotografer, saya sering bikin konsep bertema nostalgia. Jadi ya, saya terapkan ke sini juga,” sambungnya.
Selain itu nama “Kedai Lima Sembilan” pun menyimpan makna personal, sebagai bentuk penghormatannya kepada ibunya di mana usaha kedai ini dimulai.
Sementara itu untuk menunya sendiri terus berkembang, pengunjung dapat menikmati sekitar 30 pilihan makanan dan minuman.
Kopi tetap menjadi sajian utama, meski pria asal Surabaya itu memilih menyuguhkan kopi dengan pendekatan berbeda.
Ia menggunakan alat-alat manual seperti pokapod atau Turkish coffee dengan pasir panas, sebagai alternatif mesin espresso yang mahal dan umum digunakan kafe lain.
Kemudian ada es teh dengan racikan khusus yang bukan sekadar teh biasa. Tapi hasil campuran beberapa jenis teh dari Jawa Tengah hingga Dandang Kota yang pekat.
“Selain kopi dulu menu favorit es coklat, nasi kulit, dan bakmi chili oil. Sekarang kopi yang pakai Pokapod itu, orang suka penasaran rasanya,” pungkas Galih Phuja Ardian.
Dengan pengalaman ngopi di tempat tersembunyi, melewati pintu darurat, dengan suasana tenang jauh dari hiruk-pikuk sepanjang jalan tunjungan, Kedai menawarkan harga makanan dan minumannya ramah di kantong.
Mulai dari Rp 7.000 hingga Rp 25.000 tanpa mengorbankan kualitas, rasa dan kenyamanan.
Jam operasional yang mengikuti mall kadang jadi tantangan tersendiri. Ramainya pengunjung hanya sebentar, biasanya mulai pukul setengah delapan malam hingga jelang tutup.
Namun itu tidak membuatnya patah semangat sebab ia melihat TEC sebagai ruang alternatif yang masih mempunyai potensi.
Kini, Kedai Lima Sembilan bukan hanya soal kopi atau makanan. Tetapi menjadi bukti bahwa tempat yang dianggap usang sekalipun bisa kembali hidup asal ada cerita, ide, dan sedikit keberanian untuk melangkah lewat pintu yang tidak biasa.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini