Polisi dituduh 'melampaui batas' dalam atasi demo Agustus 2025 – 'Kewenangan membesar tanpa pengawasan berarti'
Sumber gambar, ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
- Penulis, Faisal Irfani
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Demonstrasi sepanjang 25 sampai 31 Agustus 2025 di sejumlah kota memperlihatkan kewenangan polisi yang melampaui batas, ujar pengamat. Akibatnya terjadi kasus kematian warga sipil, penangkapan besar-besaran, hingga ketakutan di masyarakat. Bagaimana jalan keluarnya?
Kamis, 28 Agustus 2025, di kawasan Penjernihan, Jakarta Pusat, massa demo bentrok dengan kepolisian sekitar malam hari. Sebuah kendaraan taktis (rantis) Barracuda kepunyaan Brigadir Mobil (Brimob) terlihat melaju cukup kencang di antara massa yang ada.
Dalam video yang beredar luas, rantis tersebut menabrak seorang pengemudi ojek online (ojol). Massa yang tidak terima lalu berusaha menghentikan rantis. Alih-alih berhenti, pengendara rantis kembali menginjak pedal gas.
Dua orang, semuanya supir ojol, menjadi korban. Satu luka-luka dan dirawat di rumah sakit, satu lainnya meninggal.
Affan Kurniawan adalah nama pengendara ojol yang meninggal karena dilindas mobil rantis. Kehadirannya di lokasi bahkan tidak dalam rangka mengikuti protes; Affan sedang mengantar pesanan makanan.
Kematian Affan memantik murka masyarakat, terutama sesama pengemudi ojol di area Jakarta.
Mulai Kamis (28/8) malam sampai keesokan harinya, Jum'at (29/8), massa ojol mendatangi kantor Brimob Polri di Kwitang, Jakarta Pusat. Mereka menuntut keadilan atas kematian Affan.
Orang nomor satu di kepolisian, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, meminta maaf kepada publik atas insiden yang melibatkan personel Brimob. Dia menjanjikan pengusutan secara transparan.
"Tentunya saya juga minta maaf kepada seluruh keluarga besar ojol dan juga masyarakat atas musibah dan peristiwa yang terjadi," katanya, Jum'at (29/8) dini hari.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Hanya berselang tidak sampai 48 jam dari permintaan maaf itu, Listyo membenarkan dirinya memberi perintah kepada personel kepolisian untuk menembak massa demonstran yang 'menyerang' markas Brimob dengan peluru karet.
"Yang jelas SOP-nya sudah ada, aturan hukumnya sudah ada, tentunya semuanya dalam koridor aturan," tegasnya di Istana Merdeka, Minggu (31/8) lalu.
Peristiwa yang menghilangkan nyawa Affan mendorong tekanan untuk mereformasi tubuh Polri secara utuh.
Namun, sejumlah peneliti dan pengamat dari organisasi nonpemerintah yang BBC News Indonesia hubungi menegaskan reformasi Polri sulit terealisasi selama—salah satunya—kemauan politik (political will) yang masih rendah, atau justru nol.
Tembakan gas air mata ke kampus
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Bandung, Senin (1/9) malam. Kepolisian, merujuk beberapa video yang dilihat BBC News Indonesia, nampak tengah menembakkan gas air mata ke arah Universitas Islam Bandung (Unisba).
Massa di dalam kampus, terdiri dari mahasiswa dan petugas medis, pontang-panting menyelamatkan diri.
Penembakan gas air mata muncul usai mahasiswa menempuh aksi di kawasan DPRD Jawa Barat. Tidak ada keributan kala aksi berjalan.
Begitu massa membubarkan diri dan beristirahat, polisi mulai mengambil langkah penyergapan sekaligus penyisiran, berdasarkan informasi Suara Mahasiswa Unisba.
"Massa aksi masuk ke area kampus untuk berlindung. Ada beberapa korban, di depan gerbang ditembaki gas air mata. Otomatis ada beberapa korban yang sesak napas. Dari satpam juga ada beberapa korban," terang Presiden Mahasiswa Unisba, Kamal Rahmatullah.
Rektor Unisba, Harits Nu'man, menyatakan gas air mata dilontarkan "untuk mengurai massa yang bergerombol."
"Pelariannya ke mana lagi kalau tidak lari ke tempat yang paling aman? Ke Unisba. Mereka meloncat pagar dan membuka paksa gerbang utama Unisba yang akhirnya terbuka untuk masuknya para pendemo," tutur Harits.
Polisi tidak memasuki wilayah kampus, kata Harits. Dari depan gerbang kampus, gas air mata ditembakkan.
Kepolisian Daerah Jawa Barat mengungkapkan tembakan gas air mata di sekitar Unisba dipicu serangan bom molotov dari sekelompok massa. Polisi turut menambahkan bahwa massa telah menutup jalan dan membuat blokade sambil bertindak anarkis.
Tembakan gas air mata pun diambil sebagai respons. Polisi membantah apabila arah gas air mata ditujukan ke kampus.
"Tim kemudian menembakkan gas air mata ke jalan raya. Namun, tertiup angin hingga ke arah parkiran Unisba. Inilah yang kemudian dijadikan bahan provokasi oleh kelompok anarko untuk membenturkan mahasiswa dengan petugas," ucap Kepala Bidang Humas Polda Jabar, Komisaris Besar Polisi Hendra Rochmawan.
Pernyataan Polda Jabar berkebalikan dengan pantauan profesor dan peneliti iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin.
Analisisnya menyebutkan, berdasarkan data Automatic Weather Station (AWS) di Sukalayu, jarak terdekat ke Unisba, sekitar 2 sampai 3 km, tidak terdapat embusan angin kencang saat polisi mengeluarkan gas air mata.
Kecepatan angin pada malam itu berada di rentang 0-4 km/jam atau 0,5-0,8 m/detik. Dengan kata lain: tidak berangin. Kecepatan angin yang ditemukan ialah 14 km/jam, dan muncul di sore hari—pukul 15.00 WIB.
"Kondisi angin di Unisba tak bisa diketahui karena tak ada alat ukur cuaca di atas wilayah tersebut karena itu digunakan pendekatan aproksimasi dengan alat ukur cuaca terdekat," papar Erma.
"Namun, angin permukaan umumnya punya pola yang sama untuk radius 2 sampai 3 km."
Tidak cuma di Bandung, penggunaan gas air mata secara masif turut dijumpai di kota-kota lain seperti Jakarta.
Pada Jum'at (29/8), bertepatan dengan demonstrasi pengemudi ojek online di dekat Mako Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat, aparat kepolisian memakai gas air mata dalam membubarkan massa protes.
Pantauan BBC News Indonesia di lapangan menunjukkan tembakan gas air mata mulai muncul pada 14:50 WIB. Massa, yang sebelumnya berada di depan Mako Brimob, terpaksa mencari jarak paling aman agar tidak terkena gas air mata.
Selama kurang lebih dua jam, gas air mata terus-menerus diluncurkan pihak kepolisian. Di bawah jembatan flyover, berseberangan dengan Pasar Senen, deretan ambulans sibuk mengatasi massa yang terdampak gas air mata. Tidak sedikit yang pingsan, batuk-batuk, sampai susah bernapas.
Masalah dalam demonstrasi besar-besaran yang terjadi akhir Agustus kemarin bukan sekadar gas air mata.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit menyatakan pihaknya bakal "mencari pelaku dan aktor di balik demonstrasi." Polri, Sigit menambahkan, "akan bergerak sesuai dengan bukti-bukti di lapangan."
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Pernyataan Listyo keluar selepas Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Polri dan TNI "untuk mengambil tindakan tegas kepada peserta demo yang merusak fasilitas umum dan sentra ekonomi serta penjarahan rumah invidivu."
Hasilnya, lebih dari 3.000 orang diringkus aparat berkaitan dengan demo penolakan kenaikan tunjangan anggota DPR. Mereka, mengutip data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tersebar di 20 kota.
Di antara ribuan orang tersebut, beberapa ditetapkan sebagai tersangka seperti Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen, dan pengelola akun Gejayan Memanggil, Syahdan Husein.
Keduanya disangkakan dengan pasal penghasutan hingga penyebaran informasi bohong yang melahirkan kerusuhan.
Kelompok organisasi sipil mengecam keras penangkapan ini, menyebutnya bentuk kriminalisasi dan pembungkaman kritik publik.
Selain ditangkap, nasib lima orang belum terlihat jelas—alias hilang—hingga 7 September 2025, menurut catatan KontraS. Sebanyak dua orang merupakan demonstran, dua lainnya bukan demonstran, serta satu orang tidak diketahui.
Dua orang, Muhammad Farhan Hamid dan Reno Syahputradewo, terakhir kali terlihat tatkala sedang berada di Mako Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat.
KontraS mencatat pula di luar lima orang yang masih hilang, sekitar 39 sipil menjadi korban penghilangan secara paksa dalam jangka pendek (short-term enforced disappearances). Mereka ditemukan di tahanan kepolisian.
Verifikasi di lapangan menggambarkan individu-individu tersebut diduga mengalami tindakan penyiksaan yang berbuah luka-luka.
KontraS melihat ada upaya untuk memaksakan status tersangka kepada mereka tanpa melalui proses hukum yang sah dan transparan.
Kewenangan membesar tanpa pengawasan berarti
Jejak kekerasan dan tuduhan brutalitas terhadap aparat kepolisian tidak sebatas ditemukan dalam demonstrasi akhir Agustus silam.
Dalam demonstrasi menolak revisi Undang-Undang TNI yang terjadi pada 21 sampai 28 Maret 2025, Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menemukan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan—tidak terkecuali polisi—masif bermunculan.
Kekerasan itu berupa penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, hingga tindakan tidak manusiawi lainnya. Kekerasan hadir di 15 titik kota/kabupaten di Indonesia dengan 68 orang mengalami luka-luka serta 153 lainnya ditangkap dan ditahan secara paksa.
"Jumlah ini hanyalah sebagian dari banyaknya korban kekerasan aparat yang tidak terdokumentasikan akibat ketidakterbukaan negara dalam memberikan informasi mengenai kondisi korban kekerasan," kata TAUD.
Pada Agustus 2024, tatkala publik menentang revisi Undang-Undang Pilkada yang disebut bakal memuluskan jalan Joko Widodo membangun dinasti politik, kekerasan aparat kepolisian mewarnai protes massa.
Data yang dihimpun Amnesty International Indonesia menyatakan adanya "berulangnya pemolisian kekerasan yang sistematis dan meluas" selama demonstrasi berjalan di 14 kota dari 22 hingga 29 Agustus 2024.
Sepanjang demo, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi dengan rincian: 344 orang ditangkap dan ditahan semena-mena, 152 orang mengalami luka-luka akibat serangan fisik, 17 orang terpapar gas air mata, serta 65 lainnya menghadapi penahanan sekaligus kekerasan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan kekerasan polisi waktu itu adalah "lubang hitam pelanggaran HAM."
Kekerasaan saat protes, Usman melanjutkan, "senantiasa ditanggapi dengan kekuatan berlebihan sehingga menimbulkan banyak korban."
"Janji kapolri bahwa era kepemimpinannya mengutamakan pendekatan humanis terbukti gagal. Padahal, masyarakat sedang aktif-aktifnya menyuarakan hak mereka. Suara-suara kritis di jalan harus dilindungi, bukan dibungkam," imbuh Usman.
Reaksi kepolisian dalam menangani massa demonstrasi memberi petunjuk betapa besar—dan luas—kewenangan yang melekat kepada mereka.
Celakanya, menurut anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP), Paul, polisi senantiasa menganggap publik yang memprotes kebijakan pemerintah adalah "musuh" serta "ancaman negara."
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Keadaan itu, menurut Paul, merupakan bentuk dari "kegagalan reformasi di kepolisian."
Paul menjelaskan semangat reformasi kepolisian bertumpu terhadap keinginan agar polisi menjadi "penyangga bagi negara hukum."
Artinya, Paul meneruskan, polisi diharapkan mampu memainkan perannya sebagai institusi yang akuntabel, demokratis, dan mengayomi rakyat.
Akan tetapi, harapan tersebut perlahan menjauh dan malah menempatkan kepolisian ke posisi yang seolah tidak tersentuh, berdasarkan analisa Paul.
Titik baliknya, merujuk keterangan Paul, terletak pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang juga menandai pisahnya polisi dari tangan ABRI—sekarang TNI.
"Secara konstitusi memang diatur bahwa kepolisian itu dia memegang kekuasaan untuk menjaga ketertiban, keamanan, kemudian penegakan hukum. Berikutnya ada pelayanan masyarakat, pengayoman, dan sebagainya. Itu kemudian dikembangkan, dan terjadi penggelembungan di UU Nomor 2 Tahun 2022," ucap Paul.
Keberadaan undang-undang kepolisian membuat aparat berseragam cokelat semakin superpower, jelas Paul.
Persoalannya, kekuatan yang bertambah kokoh tidak dibarengi "pengawasan yang betul-betul equal dan bisa mengimbangi kepolisian untuk berbenah," kata Paul.
"Jadilah di sini kepolisian merasa kebal, seolah merasa tidak punya efek jera atas kesalahan-kesalahan maupun pelanggaran-pelanggaran. Lahir juga budaya impunitas [kekebalan hukum] di kepolisian," tambah Paul.
"Nah, itu semua problem yang sangat sistemik itu kemudian melahirkan apa yang terjadi saat sekarang maupun di fase-fase sebelumnya."
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Putra M. Akbar
Jejak kepolisian tidak menyempit dalam perkara penanganan ketertiban umum sebagaimana yang muncul kala demonstrasi massa. Pada elemen tugas dan fungsi lainnya, kontroversi mendekat kepada kepolisian.
Di Banyumas, Jawa Tengah, empat polisi dihukum penjara setelah terbukti menganiaya tahanan hingga meninggal dunia. Kasus bermula saat keluarga melihat kejanggalan di tubuh korban.
Awalnya, korban, yang dituduh mencuri kendaraan, dibawa ke kantor polisi dalam keadaan sehat. Tiba-tiba, pihak keluarga kabar bahwa korban meninggal dunia. Setelah diperiksa, tubuh korban penuh luka.
Bergeser ke Medan, Sumatra Utara, tujuh anggota kepolisian di Polrestabes Medan ditetapkan menjadi tersangka atas penganiayaan kepada satu orang yang berujung tewas. Pemicunya cekcok antara korban dengan polisi.
Tidak terima, polisi menghajar korban sebanyak dua kali. Saat dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan, korban lalu mengembuskan napas terakhir.
Kekerasan kepada tahanan adalah realitas yang sulit dihapus dari kepolisian. Data yang dikumpulkan KontraS dari 2011 sampai 2019 menunjukkan 693 orang menjadi korban 445 kasus penyiksaan di dalam tahanan oleh polisi.
Dari ratusan korban, 63 orang yang disiksa kehilangan nyawa.
Polisi memakai beragam metode penyiksaan, mulai dari dipukul, disetrum, dibakar, dan—tidak jarang—ditembak. Motif penyiksaan ini mayoritas adalah untuk mendapatkan pengakuan.
Senada dengan KontraS, data Amnesty International Indonesia menggambarkan pola yang mengkhawatirkan. Sejak 2021 sampai 2024 terdapat lonjakan jumlah penyiksaan aparat penegak hukum yang didominasi anggota kepolisian—sekitar 75%.
Periode 2021-2022 setidaknya 15 kasus penyiksaan dengan 25 korban terekam. Angka itu naik menjadi 16 kasus dan 26 korban pada 2022-2023. Periode berikutnya, 2023-2024, datanya kembali naik: 30 kasus dan 49 korban.
Temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut memperkuat data di atas. Polisi merupakan pihak yang paling sering diadukan ke Komnas HAM pada rentang 1 Januari 2020 hingga 24 Juni 2024 dengan 176 kasus.
Klasifikasi kasus yang paling sering disampaikan, mengutip Komnas HAM, adalah kekerasan oleh aparat, baik dalam bentuk interogasi dengan penyiksaan, penggusuran atau relokasi, sampai kekerasan kepada tahanan.
Selanjutnya ada pembunuhan atau penganiayaan oleh aparat, pemeriksaan terhadap pelapor serta saksi disertai intimidasi dan perlakuan tidak manusiawi, maupun penangkapan dengan penggunaan senjata api secara berlebihan, Komnas HAM menambahkan.
Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, mengutarakan evaluasi terhadap Polri seperti tumpul dalam implementasi, dipicu ketiadaan badan pengawasan yang mampu bekerja secara independen.
Sejauh ini, kerja-kerja pengawasan atas Polri disandarkan kepada dua lembaga. Di internal, Polri memiliki Divisi Profesi dan Pengamanan, populer dengan singkatan Propam Polri.
Sedangkan di lingkup eksternal, badan bernama Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mencuat ke permukaan.
Keduanya, kata Julius, mempunyai tugas serta wewenang yang mirip belaka. Propam Polri berfokus pada etika dan profesionalitas. Lalu Kompolnas menyasar kinerja serta masalah kelembagaan.
Masalahnya, baik Propam maupun Kompolnas terkendala satu dan lain hal.
Yang pertama dan utama: sikap espirit de corps. Apabila diterjemahkan ke praktik, espirit de corps, menurut Julius, diartikan sebagai upaya melindungi dua entitas sekaligus: nama baik institusi serta masa depan anggota kepolisian.
Dengan begitu, maka hukuman yang diberikan di level internal tidak kuat.
"Maka, kultur atau budaya mengevaluasi yang kuat dan progresif itu belum ada sampai detik ini. Dari preseden-preseden itu, tentu terjadi potensi impunitas," ungkapnya kepada BBC News Indonesia.
"Dan faktanya kemudian terjadi impunitas. Setelah impunitas terjadi, maka akan terjadi juga keberulangan atau repetisi. Pada akhirnya tidak akan menimbulkan efek apa pun."
Oktober 2022, Polri disorot tajam sebab penggunaan gas air mata di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, yang menyebabkan 135 orang tewas. Tapi, dari tragedi itu, Polri tidak langsung mengevaluasi keberadaan gas air mata.
Indonesian Corruption Watch (ICW), misalnya, mendapati Polri belanja gas air mata sebanyak lima kali dari Desember 2023 hingga Februari 2024.
Total uang yang dikeluarkan—dari pajak—mencapai Rp188,9 miliar yang tersebar di dua satuan kerja: Korbrimob Polri dan Korsabhara Baharkam Polri.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Putra M. Akbar
Sementara dalam konteks Kompolnas, Julius berpandangan bahwa secara konsep lembaga ini sudah diletakkan pada koridor yang tidak kelewat menguntungkan: mitra strategis Polri.
Sebab statusnya "mitra strategis," mereka "bekerja sama dengan Polri," imbuh Julius.
"Maka kita tidak akan bisa mendengarkan Kompolnas berteriak 'keras' setiap kepolisian ada kasus," tandas Julius, yang juga mendefinisikan Kompolnas sebagai "lembaga yang prematur."
Posisi Kompolnas kian 'strategis' bagi kepolisian mengingat kursi kepemimpinannya diisi perwakilan pemerintah dan purnawirawan Polri.
Ketua Kompolnas adalah menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan (menkopolhukam).
Pada periode pemerintahan Prabowo Subianto, Ketua Kompolnas dijabat Budi Gunawan, mantan wakapolri. Sebelumnya yaitu Luhut Binsar Pandjaitan (2020-2024).
Di bagian keanggotaan, dari masa ke masa, rutin bercokol sejumlah pensiunan perwira Polri.
"Dengan gagasan seperti itu, maka tentu tidak akan menciptakan evaluasi yang menimbulkan efek jera," terang Julius.
Dalam kasus kematian Affan Kurniawan, Kompolnas menyebut pengemudi rantis tidak sengaja menabrak korban lantaran blind spot—titik buta.
Kompolnas menambahkan Affan lebih dulu terjatuh, bukan karena ditabrak rantis.
Tujuh personel Brimob diperiksa oleh Propam Polri atas kematian Affan.
Dua polisi, Brigadir Kepala Rohmat (pengemudi rantis) dan Komisaris Kosmas Kaju Gae (atasan Rohmat), masing-masing dijatuhi sanksi demosi jabatan serta dipecat secara tidak hormat.
'Karpet merah untuk Polri'
"Saat Reformasi, siapapun yang ingin kuat secara politik, maka harus bisa merangkul Polri," tegas Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani.
Pascakejatuhan Soeharto, Polri menjelma menjadi institusi yang kuat, kata Julius, seperti halnya TNI pada era kediktatoran Orde Baru. Terdapat dua faktor penyebabnya.
Pertama, Polri menaungi fungsi yang berkelindan langsung dengan masyarakat: penegakan hukum, ketertiban umum, sampai pelayanan publik.
Walaupun, kenyataannya, Julius menambahkan, kerap terjadi overlap di antara implementasi tugas-tugas tersebut.
"Yang overlap, misalnya, adalah apa? Dalam fungsi penegakan hukum terpadu, dia [polisi] bahkan bisa dipersenjatai senjata api yang mematikan. Secara regulasi itu sudah salah kaprah karena penegakan hukum enggak ada kaitannya dengan mencabut nyawa; hanya melumpuhkan," jelas Julius.
"Tapi, itu sudah menjadi bukti bahwa dia superpower."
Faktor kedua, Julius meneruskan, ialah ihwal posisi Polri secara struktural. Julius mengamati tidak ada lembaga negara di Indonesia yang bergerak menyerupai lapisan pemerintahan selain Polri.
Kepanjangan tangan Polri muncul dari pemerintah pusat, daerah, sampai ke tingkatan paling bawah. Kemudian di titik puncaknya, pemegang mandat dipegang kapolri—sama halnya di eksekutif melalui presiden.
"Hanya Polri. Lembaga lain tidak ada yang seperti itu," tandas Julius.
Dengan begitu, posisi Polri rentan dipolitisasi, imbuh Julius, dan hal tersebut tergambar jelas pada dua periode rezim Joko Widodo.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
Riset berjudul Democratic Regression in Indonesia: Police and Low-capacity Democracy in Jokowi's Administration (2014-2020) (2022), yang ditulis Sarah Nuraini, Riaty Raffiudin, dan Firman Noor, menjelaskan bahwa polisi, selama Jokowi berkuasa, tidak sekadar berfungsi menjadi alat negara melainkan sekutu politik yang strategis.
Secara legal standing, Jokowi diuntungkan lantaran sejak dipisah dari TNI, Polri bertanggung jawab langsung ke presiden.
Jokowi mengarahkan muka ke Polri sebab dia kekurangan tali pengikat ke tubuh militer, ucap peneliti ISEAS–Yusof Ishak institute, Made Supriatma, dalam analisisnya.
Selain itu, Jokowi juga tidak punya partai dan pada waktu bersamaan dia membutuhkan stabilitas untuk agenda-agenda pembangunannya.
Langkah awal yang Jokowi tempuh ialah menunjuk sosok-sosok yang 'dekat' dengannya untuk menduduki kursi kapolri.
Pada 2015, Jokowi mengajukan nama Budi Gunawan sebagai kandidat tunggal kapolri. Budi Gunawan merupakan mantan ajudan Megawati Sukarnoputri, presiden kelima sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan—partai yang meng-endorse Jokowi di kontestasi politik.
Pengajuan Budi Gunawan memantik krisis politik setelah KPK menetapkannya menjadi tersangka dalam kasus 'transaksi mencurigakan.' Pengumuman ini membuat Polri membalas KPK dengan pelaporan dan penangkapan beberapa komisioner atas sejumlah tuduhan.
Ketegangan KPK dan Polri kala itu dijuluki "cicak versus buaya."
Status tersangka Budi Gunawan sendiri dianulir oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lewat sidang praperadilan. Budi Gunawan juga batal mengemban jabatan kapolri.
Sumber gambar, Sekretariat Negara
Setahun berselang, 2016, Jokowi menyodorkan perwira muda bernama Tito Karnavian menjadi kapolri. Lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1987 yang pernah menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kapolda Metro Jaya ini akhirnya lolos fit and proper test di DPR.
Naiknya Tito ke pucuk tertinggi Polri menuai kontroversi di tubuh internal. Pasalnya, Tito dianggap 'melangkahi' perwira-perwira tinggi Polri—bintang tiga—yang mengklaim lebih 'layak' masuk bursa persaingan kapolri.
Pada periode kedua pemerintahannya, Jokowi menunjuk Listyo Sigit Prabowo, mantan ajudan (2014) serta Kapolrestabes Surakarta (2011), untuk memimpin Polri. Listyo, sama seperti Tito, diangkat ketika usianya masih 'muda'—51 tahun.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Dari ruang sipil, penempatan perwira tinggi Polri di instansi pemerintahan seperti BUMN atau kementerian juga lazim dijumpai tatkala Jokowi memimpin. Data ICW menyebutkan sebanyak 13 perwira aktif Polri pernah mengisi komisaris BUMN (2019).
Pada level kementerian, wajah polisi dapat pula dilihat secara paripurna melalui, salah satunya, pemilihan Tito Karnavian menjadi menteri dalam negeri.
Tak ketinggalan, purnawirawan Polri sempat menjabat posisi paling tinggi di KPK. Dia adalah Firli Bahuri.
Pemandangan tak jauh berbeda ditemukan di lembaga negara lainnya, dari BIN sampai Bulog.
Kuatnya posisi kepolisian ditunjang dengan alokasi anggaran yang disediakan pemerintah kepada mereka.
Sepanjang 2019 sampai 2024, dana yang ditransfer ke Polri dari APBN cenderung mengalami peningkatan, dengan tembus di atas Rp100 triliun per tahunnya.
"Itu baru anggaran rutin, belum anggaran khusus seperti pemilu kemarin, 2024. Itu ada anggaran khususnya. Nah, ini titik kunci juga kenapa Polri menjadi begitu kuat," terang Julius.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Karpet merah yang digelar kepada kepolisian, di sisi lain, telah menguntungkan Jokowi, mengutip penelitian Sarah Nuraini, Riaty Raffiudin, dan Firman Noor.
Presiden seketika mempunyai alat politik yang mampu difungsikan kapan saja, tidak terkecuali membungkam mereka yang tidak sepaham dengan pemerintah.
Inilah yang lantas, masih merujuk makalah Sarah dan kawan-kawan, memudahkan rezim untuk "memanipulasi penegakan hukum sebagai alat dalam memantau kelompok-kelompok kritis di masyarakat."
Selama 2019 sampai 2022, catatan Amnesty International Indonesia menunjukkan terdapat sekitar 328 kasus serangan fisik dan digital terhadap masyarakat—dengan 834 korban.
Mayoritas adalah pegiat HAM, pembela lingkungan, mahasiswa, jurnalis, demonstran, serta aktivis.
Masih pada periode yang sama, sebanyak 332 orang dijerat pasal karet UU ITE.
Polisi merupakan aktor menonjol yang kerap berurusan dengan 'penertiban' tersebut, terlihat dalam contoh penangkapan intelektual Robertus Robet, aktivis Dandhy Laksono, sampai ketua komunitas adat Laman Kinipan Effendi Buhing.
Rezim Jokowi, yang bercokol satu dekade, memang selesai. Meski demikian, posisi Polri yang kadung kuat berkat menemukan banyak keistimewaan dalam kekuasaan Jokowi tetap dilirik penguasa sekarang untuk ditempatkan sebagai mitra politik yang efektif serta mampu diandalkan di segala medan.
"Meski latar belakangnya [Prabowo] adalah militer, [Polri] tetap akan digunakan sebagai sarana politik yang kuat. Masih begitu positioning-nya," ungkap Julius.
"Polri yang lebih berdaya untuk dimanfaatkan secara politik, karena problem regulasi yang menciptakan sistem dan struktur sedemikian rupa, maka tentu akan sama."
Ketika menjenguk korban kerusuhan dalam demonstrasi akhir Agustus, Prabowo memerintahkan kapolri untuk memberi kenaikan pangkat luar biasa kepada aparat kepolisian yang bertugas.
"Saya sampaikan ke kapolri, saya minta semua petugas dinaikkan pangkat. Dinaikkan pangkat luar biasa karena bertugas di lapangan membela negara, membela rakyat, menghadapi anasir-anasir," tutur Prabowo di RS Polri, Jakarta Timur.
Tidak lama setelahnya, pemerintah menetapkan anggaran Polri pada RAPBN 2026 sebesar Rp145,6 triliun, meningkat dibanding proyeksi (outlook) tahun ini: Rp138,5 triliun.
Alhasil, tahun mendatang, Polri menjadi lembaga penerima anggaran tertinggi ketiga setelah Badan Gizi Nasional dan Kementerian Pertahanan.
"Itu untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan pencegahan terorisme serta kejahatan," aku Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam rapat kerja virtual dengan Komisi IV DPR RI.
Reformasi kepolisian: masih memungkinkan dijangkau?
Tekanan untuk kepolisian agar berbenah diri lantaran serangkaian kasus pelanggaran HAM maupun deret masalah lainnya senantiasa mengemuka.
Setiap desakan lahir, dia cepat menguap, lalu polisi kembali mengulang kesalahan yang sama. Begitu seterusnya.
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, menjelaskan masalah polisi di Indonesia hari ini tidak dapat diselesaikan dengan langkah-langkah teknokratis seperti mengubah undang-undang atau mencopot kapolri.
Polri, dengan superpower-nya, Iftitah melanjutkan, dimanfaatkan menjadi "alat politik" oleh para elite yang bertarung berebut kepentingan elektoral sampai ceruk modal yang sama-sama tidak mempunyai insentif untuk menegakkan rule of law, akuntanbilitasi, atau good governance.
"Karena sudah nyaman dengan sistem korup seperti sekarang," tegas Iftitah.
"Karena dia menjadi senjata politik, tidak heran kalau dari internal kalangan Polri sendiri juga pasti ada dinamika untuk rebutan ambil kontrol."
Maka, untuk menyelesaikan masalah akut yang mengerak di tubuh Polri, "kita butuh reformasi secara politik terlebih dahulu," imbuh Iftitah.
"Sistem politik kita yang harus berubah," tandasnya.
Walaupun terdengar "kompleks," bukan tidak mungkin itu akan terwujud, ucap Iftitah. Sebelum mengarah ke sana, Iftitah menyodorkan tiga alternatif—dia menyebutnya "baby step"—untuk mengurai sengkarut kekuatan kepolisian.
"Sepertinya relevan untuk kita coba upayakan distribusi fungsi dan kewenangan Polri. Karena dengan fungsi dan kewenangan sekarang, sudah tidak masuk akal untuk [Polri] bisa dikontrol karena terlalu besar," paparnya.
Di tataran penerapan, pemecahan kewenangan Polri bisa ditempuh ke dalam tiga ruang, sebut Iftitah.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Pertama, fungsi penegakan hukum di bawah Polri diperkuat dengan pengawasan oleh lembaga pengadilan (judicial scrutiny) melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Kedua, kewenangan menjaga ketertiban umum, lalu lintas, dan pelayanan publik ditempatkan di bawah kementerian terkait maupun pemerintah daerah guna mengurangi kecenderungan militerisasi aparat dalam pelaksanaan tugas-tugas sipil.
Terakhir, yang ketiga, pengamanan dan penanganan aksi massa oleh Brigade Mobil (Brimob) dikeluarkan dari institusi kepolisian karena salah kaprah dalam membedakan tugas dan fungsi pemolisian sipil modern dengan tentara.
Manajer Program untuk Reformasi Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Matheus Nathanael, mewanti-wanti bahwa sekalipun fungsi dan tugas Polri nantinya dipecah ke dalam beberapa titik, kewenangan mereka tetap harus diawasi secara komprehensif.
"Meski dia nanti dipecah, tapi kalau kewenangannya tidak ada check and balances, dia akan tetap seperti sekarang," ucapnya saat dihubungi BBC News Indonesia.
"Penting untuk memastikan setiap kewenangan tidak dimonopoli oleh polisi. Agenda reformasi kepolisian, saya melihat, ada dua sisi: memastikan kewenangan tidak dikuasai dan tanggung jawab kelembagaan."
Pada 2021, di depan anggota DPR yang tengah menyeleksinya dalam rangka pengisian jabatan kapolri, Listyo Sigit berujar bahwa jajaran kepolisian tidak boleh menjadi alat kekuasaan.
Secara prinsip, kepolisian merupakan alat negara yang bertugas melindungi masyarakat dan membantu menciptakan ketertiban umum, Listyo menggarisbawahi.
"Polri tidak boleh menjadi alat kekuasaan karena sejatinya Polri adalah alat negara. Oleh karenanya, setiap tindakan Polri mendukung kemajuan Indonesia," kata Listyo.
Kini, empat tahun setelahnya, Listyo berhasil—dan masih bertahan—menjadi kapolri. Apakah pernyataannya benar-benar terealisasi?
Berita Utama
Majalah
Artikel terpopuler
Konten tidak tersedia