KOMPAS.com - Acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta pada Selasa (3/6/2025) diwarnai aksi protes damai oleh aktivis lingkungan dan masyarakat adat yang menolak penambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua.
Aktivis Greenpeace dan empat anak muda Papua dari Raja Ampat menerbangkan banner bertuliskan ”What’s the True Cost of Your Nickel?”.
Mereka juga membentangkan spanduk dengan pesan ”Nickel Mines Destroy Lives” dan ”Save Raja Ampat from Nickel Mining”.
Tidak hanya di ruang konferensi, mereka juga membentangkan banner di exhibition area yang terletak di luar ruang konferensi.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik mengatakan, industrialisasi nikel telah menghancurkan hutan, tanah, sungai, dan laut di berbagai daerah, seperti Morowali, Konawe Utara, Kabaena, Wawonii, Halmahera, dan Obi.
"Kini tambang nikel juga mengancam Raja Ampat, Papua, tempat dengan keanekaragaman hayati yang amat kaya yang sering dijuluki sebagai surga terakhir di bumi," kata Iqbal dalam keterangan resmi, Selasa (3/6/2025).
Pada 2024, Greenpeace menemukan aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, di antaranya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Ketiga pulau itu termasuk pulau-pulau kecil yang tak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
Menurut analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas.
Sejumlah dokumentasi pun menunjukkan adanya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir–yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat.
Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun.
Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpampang di uang kertas pecahan Rp 100.000.
Raja Ampat terkenal karena kekayaan keanekaragaman hayati baik di darat maupun di lautnya. UNESCO juga telah menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai global geopark
Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen spesies coral dunia dan punya lebih dari 2.500 spesies ikan. Daratannya, memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung.
Pada Maret 2025, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah menyoroti kemudahan pemerintah mengeluarkan izin usaha pertambangan di Raja Ampat.