KOMPAS.com - BBC memuat data dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang menunjukkan bahwa seperempat remaja berusia 15 tahun di Denmark tidak mampu memahami teks yang sifatnya sederhana.
Wakil Ketua Kelompok Kerja Pemerintah Bidang Sastra, Mads Rosendahl Thomsen, mengakui bahwa kondisi ini cukup memprihatinkan karena kemampuan tersebut sebenarnya sangat penting.
Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut, pemerintahan Denmark memutuskan untuk menghapus pajak penjualan buku dengan harapan akan ada lebih banyak buku yang terjual dan tumbuh kecintaan baru terhadap membaca.
Padahal, pajak penjualan buku di Denmark termasuk salah satu yang tertinggi di dunia, yaitu 25 persen.
Jika Denmark menghilangkan pajak buku, maka akan ada pengurangan biaya negara sekitar 330 juta kroner atau setara Rp 563,65 miliar dalam setahun.
Menteri Kebudayaan Jacob Engel-Schmidt, menekankan tidak masalah dengan adanya pengurangan biaya tersebut.
Ia meyakini bahwa uang dalam jumlah besar harus dihabiskan untuk berinvestasi dalam konsumsi dan budaya masyarakat Denmark.
Sebagai tambahan informasi, penerapan pajak nol pada penjualan buku juga telah diberikan oleh negara lain, seperti Britania Raya.
Kendati demikian, pengilangan pajak ini dianggap bukan menjadi satu-satunya solusi untuk meningkatkan literasi anak-anak.
Dilansir dari BBC, Selasa (26/8/2025) Thomsen menekankan pula pentingnya peningkatan akses terhadap bahan bacaan atau buku bagi seluruh lapisan masyarakat.
Mereka pun tengah mempertimbangkan kebijakan dan program pendukung lainnya, seperti ekspor karya sastra Denmark, digitalisasi buku, hingga gaji penulis.
Kondisi Indonesia dalam kasus serupa
Berdasarkan skor Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, literasi Indonesia ada di peringkat 71 dalam hal kemampuan membaca peserta didik berusia 15 tahun.
Skor rata-rata kemampuan membaca siswa Indonesia pun lebih rendah dibandingkan dengan Singapura, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Sementara itu, kondisi penulis di Indonesia juga masih memprihatinkan. Dilansir dari KOMPAS.id, royalti yang diterima masih relatif kecil ditambah dengan adanya tuntutan pajak dari pemerintah.
Belum lagi, maraknya bajakan terhadap karya mereka oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal ini tentu menimbulkan kerugian bagi para penulis Indonesia.
Beberapa penulis pun angkat bicara, misalnya Maman Suherman (59) yang mengungkap bahwa royalti 10 persen belum ideal. Terlebih, biaya produksi yang tinggi dan penjualan buku kian menurun.
”Negara harus hadir dengan memberi subsidi untuk buku. Fungsi buku bukan hanya ekonomi, tetapi juga intelektualitas dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujarnya dikutip dari KOMPAS.id, Senin (25/8/2025).
Ada juga sebuah survei yang melibatkan 130 penerbit mengungkap bahwa kerugian akibat pembajakan bisa mencapai ratusan miliar rupiah. J.S. Khairen, mengungkap bahwa pernah menemukan buku bajakan karyanya.
”Jangan giliran (buku) dibajak diam saja, tetapi urusan pajak kami dikejar,” tegas Khairen, meminta pemerintah untuk bertindak tegas atas buku bajakan yang beredar.
Maman juga mengaku mengalami hal yang serupa karena pernah dikejar petugas pajak.
”Negara ini pun tak mengakui penulis. Coba cek kolom pekerjaan di KTP (kartu tanda penduduk) elektronik, tak ada pilihan pekerjaan penulis. Kalau dukun (paranormal), ada. Namun, urusan pajak, kami dikejar-kejar,” ungkapnya dikutip dari laman KOMPAS.id.
https://www.kompas.com/edu/read/2025/08/26/185226371/demi-atasi-krisis-membaca-denmark-hapus-pajak-penjualan-buku