KOMPAS.com – Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti, mengungkapkan langkah-langkah strategis Kemendikdasmen untuk mendukung kebijakan Presiden Prabowo Subianto, dengan fokus pada Asta Cita ke-4, yaitu peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan akses terhadap teknologi.
Salah satu kebijakan baru yang menarik perhatian adalah rencana Kemendikdasmen untuk memperkenalkan pelajaran koding dan kecerdasan buatan (AI) sebagai mata pelajaran pilihan mulai tahun ajaran 2025.
Menurut Mu’ti, naskah akademik terkait pelajaran ini sudah selesai, dan para guru telah mengikuti pelatihan untuk mengajarkan koding dan AI di sekolah-sekolah.
"Beberapa sekolah akan mulai mengajarkan koding dan AI sebagai mata pelajaran pilihan," kata Mu’ti dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, Rabu (23/04/25) lalu.
Baca juga: 40.000 PAUD-SMA/SMK Siap Laksanakan Pembelajaran Koding dan AI di Tahun Ajaran Baru
Kebijakan ini bertujuan untuk mempersiapkan siswa menghadapi tantangan zaman yang semakin bergantung pada teknologi.
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai bahwa kebijakan ini terancam gagal jika diterapkan tanpa memperhatikan masalah mendasar dalam sistem pendidikan Indonesia.
“Soal koding, ini jelas mengkhawatirkan dan terancam gagal. Skor literasi-numerasi kita masih masuk kategori terendah dan masih pula di bawah standar rata rata dunia. Jika dipaksakan kebijakan ini, anak anak pasti akan kesulitan memahami konsep kompleks seperti coding dan AI,” kata Ubaid kepada Kompas.com, Rabu (23/04/25).
Baca juga: Curhat Siswa di UTBK 2025: Soal Literasi Bahasa Indonesia Lebih Susah
Menurutnya, jika anak-anak belum mampu memahami konsep-konsep dasar seperti matematika dan membaca, mengajarkan hal-hal kompleks seperti koding dan AI hanya akan semakin membingungkan bagi mereka.
Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, skor matematika Indonesia berada pada peringkat 69, skor literasi di peringkat 71, dan skor sains di peringkat 67 dari 81 negara.
"Seperti halnya 400 siswa SMP di Buleleng yang tidak bisa membaca, ini menunjukkan adanya kesenjangan mendasar dalam kemampuan dasar siswa," ujar Matraji.
Baca juga: 400 Siswa SMP di Buleleng Bali Belum Bisa Baca, Dewan Pendidikan Buka Suara
Di sisi lain, Matraji juga memperingatkan potensi ketimpangan yang bisa terjadi akibat kebijakan ini.
Menurutnya, kebijakan ini hanya akan menguntungkan siswa di sekolah-sekolah unggulan saja, sementara siswa di sekolah-sekolah dengan kualitas pendidikan rendah akan semakin tertinggal.
“Kebijakan ini berpotensi memperparah ketimpangan, karena hanya siswa di sekolah "unggulan" yang mampu mengikutinya. Lagi-lagi, ini bukan kebijakan pendidikan untuk semua, tapi hanya jadi kebijakan untuk kelompok tertentu saja,” lanjutnya.
Apabila anak-anak di usia SD hingga SMP memiliki kemampuan literasi dan numerasi yang buruk, masalah tersebut akan terus terbawa hingga ke kehidupannya kelak. Ia menyoroti, masalah yang dihadapi anak-anak di jenjang SMA, merupakan warisan dari pendidikan di jenjang dasar.
Baca juga: Krisis Literasi di Indonesia, Integritas Pemimpin Berantas Korupsi jadi Kunci
“Artinya, jika jenjang dasar, karakter serta literasi-numerasi anak sudah kuat, ke jenjang berikutnya akan dengan mudah dilalui oleh anak. Tujuan pendidikan pun akan mudah digapai,” jelasnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya