PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXIII/2025 yang menyatakan bahwa negara wajib membiayai pendidikan dasar secara gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta, adalah angin segar bagi upaya pemenuhan hak pendidikan yang adil dan nondiskriminatif.
Putusan ini menegaskan bahwa negara tidak boleh abai terhadap keberadaan sekolah swasta sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
Mahkamah secara eksplisit menyatakan bahwa tanggung jawab negara tidak berhenti pada pengelolaan pendidikan negeri, melainkan juga mencakup pengakuan, dukungan, dan tanggung jawab terhadap pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Namun, di balik kemenangan konstitusional ini, muncul pertanyaan penting yang belum dijawab oleh negara: jika anak-anak sekolah dasar di sekolah swasta kini tidak lagi diperlakukan sebagai anak tiri negara, bagaimana dengan para dosen yang mengajar di perguruan tinggi swasta?
Baca juga: Rekonstruksi Kesejahteraan Dosen
Mengapa pengakuan dan keberpihakan negara belum menyentuh dunia pendidikan tinggi, khususnya mereka yang mengabdikan diri sebagai dosen di luar universitas negeri?
Konstitusi dalam Pasal 31 UUD 1945 dengan tegas menjamin hak warga negara untuk memperoleh pendidikan.
Dalam ayat (3) disebutkan bahwa “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia”.
Frasa “satu sistem pendidikan nasional” tidak membedakan antara penyelenggara negeri atau swasta, antara sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Namun, dalam praktik kebijakan, pendidikan tinggi swasta sering dipinggirkan. Lebih dari 3.000 perguruan tinggi swasta di Indonesia menampung lebih dari 60 persen mahasiswa nasional (data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2024).
Artinya, beban mencerdaskan kehidupan bangsa dalam jenjang pendidikan tinggi justru lebih banyak ditanggung oleh institusi swasta.
Anehnya, meski perannya begitu besar, dosen-dosen swasta masih berada dalam bayang-bayang kebijakan yang timpang.
Mereka tidak memiliki akses penuh terhadap tunjangan profesi, program riset negara, pelatihan peningkatan kompetensi, dan perlindungan ketenagakerjaan seperti halnya dosen PNS atau ASN di perguruan tinggi negeri.
Banyak dari mereka harus mengandalkan penghasilan dari honor mengajar dan proyek penelitian mandiri yang tidak pasti.
Dalam berbagai kasus, mereka bahkan tidak memiliki status kerja yang tetap, alias masih berstatus dosen kontrak belasan tahun tanpa kejelasan.
Jika Mahkamah Konstitusi telah memberikan afirmasi terhadap siswa dan guru di sekolah dasar swasta agar mendapat pembiayaan negara yang layak, mengapa negara belum menunjukkan keberpihakan yang setara kepada dosen di sektor pendidikan tinggi swasta?
Baca juga: Korupsi Proyek Digitalisasi Pendidikan Rp 9,9 Triliun